Menelusuri Sen Terakhir Kekayaan Soeharto

Rinaldy Sofwan Fakhrana | CNN Indonesia
Selasa, 15 Sep 2015 15:08 WIB
Pada 17 tahun yang lalu, Presiden kedua Indonesia itu menyatakan sama sekali tak memiliki uang. Kini, ada tuntutan Rp 4,4 triliun yang harus dikembalikan.
Mantan Presiden Soeharto meninggalkan Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan, Rabu, 11 Mei 2005 (Dok. Istimewa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Di depan kamera televisi swasta kepunyaan keluarganya, Presiden Soeharto bicara kepada jutaan rakyat Indonesia beberapa bulan setelah kejatuhannya, 17 tahun lalu. "Saya tidak punya uang satu sen pun," kata Soeharto dalam wawancara di Televisi Pendidikan Indonesia, yang disiarkan pada 6 September 1998 silam.

Hampir empat bulan setelah tergelincir dari kursi kekuasaan yang didudukinya selama tiga dekade, laki-laki berusia 76 tahun itu mengumumkan pernyataannya. Soeharto mengaku tak memiliki uang setelah kurang dari sepekan Kejaksaan Agung mengumumkan ada indikasi penyimpangan penggunaan dana, di yayasan-yayasan yang dikelola sang Jenderal Besar.

Seakan tak mau peduli, sepekan setelah pernyataan itu, pemerintah menunjuk Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib untuk memimpin tim investigasi kekayaan Soeharto. Tim investigasi langsung menyambangi kediaman laki-laki kelahiran Bantul, 8 Juni 1921 itu di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tepat tiga bulan setelah pernyataan Soeharto, yakni pada 7 Desember 1998, Andi membeberkan hasil investigasi di tujuh yayasan yang diselidiki. Yayasan Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora jadi target utama penyelidikan.

Dari hasil investigasi, yayasan-yayasan itu disebut memiliki kekayaan senilai Rp4 triliun. Sementara Soeharto sendiri disebut mempunyai 72 rekening dengan nilai deposito sebesar Rp24 miliar, Rp23 miliar yang tersimpan di rekening BCA. Tak hanya itu, 400 ribu hektare tanah juga diketahui bersertifikat Keluarga Cendana.

Sebulan setelahnya, memasuki 1999, Tim 13 Kejaksaan Agung menyimpulkan ada indikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto.

Namun setelah setahun mengusut kasus ini, Kejaksaan Agung malah menyerah. Tak cukup bukti yang ditemukan menjadi penyebab. Pemerintah menyatakan tuduhan korupsi tak terbukti pada 11 Oktober dan Surat Perintah Penghentian Penyidikan pun diterbitkan.

Tiga tahun kemudian, setelah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur duduk sebagai pemimpin negara, kasus ini kembali diusut. Maret 2000, Soeharto ditetapkan sebagai tersangka dan dituntut pada Agustus.

Kala itu, kondisi kesehatan Soeharto yang kian menurun membuat hakim tak dapat berbuat apa-apa. Sang Panglima didiagnosis mengalami berbagai gangguan saraf dan mental hingga sulit berkomunikasi.

Tujuh tahun berselang, ketenangan Keluarga Cendana kembali diusik. Juli 2007, Kejaksaan Agung menggugat Soeharto selaku pembina Yayasan Supersemar, berikut yayasan itu sendiri, ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Jaksa Pengacara Negara resmi menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar sebesar US$420 juta dan Rp185 miliar ditambah ganti rugi imateriil Rp 10 triliun. Kasus ini digugat secara perdata.

Di tengah bergulirnya kasus ini, Soeharto mengembuskan napas terakhir pada 27 Januari 2008. Setelah ia wafat, lima anak Soeharto, tak terkecuali anak bungsunya yakni Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), resmi menggantikan ayahnya sebagai tergugat perkara Supersemar.

Yayasan kemudian dinyatakan bersalah lantaran menyalahgunakan dana dengan memberikan pinjaman dan penyertaan modal ke berbagai perusahaan. Hakim memutus, uang senilai US$105juta dan Rp46 miliar mesti dibayarkan sebagai ganti rugi kepada negara.

Juan Felix Tampubolon selaku pengacara langsung menyatakan akan mengajukan banding. Namun putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tak mengubah apa-apa. (Baca juga: Pembelaan Keluarga Soeharto Soal Yayasan Supersemar)

Majelis kasasi bahkan memperkuat putusan tersebut. Yayasan Supersemar diharuskan membayar 75 persen dari US$420 juta (US$315 juta) ditambah 75 persen dari Rp185 miliar (Rp139 miliar).

Sialnya, belakangan diketahui terjadi kesalahan pengetikan dalam putusan tersebut. Tiga buah angka nol tak tercantum dalam putusan sehingga angka Rp 185 miliar hanya tertulis Rp 185 juta. Akibatnya, putusan tak dapat dieksekusi.

Pada 2013, Kejaksaan Agung dan Yayasan Supersemar sama-sama mengajukan Peninjauan Kembali. Berselang dua tahun, Mahkamah Agung baru mengabulkan PK yang diajukan negara dan menolak gugatan pihak Yayasan Supersemar. Alhasil, yayasan diputus mesti mengeluarkan uang sebesar Rp4,4 triliun. (Baca juga: Catatan Dana Yayasan Supersemar Soeharto yang Diselewengkan)

Hingga kini, putri Soeharto, Siti Hediati Soeharto alias Titiek Soeharto, masih berkeras tak ada penyalahgunaan dana yang terjadi di yayasan tersebut.

Dia mengatakan, pada tahun 1975 terbit peraturan presiden yang disusul keputusan peraturan menteri keuangan yang mengimbau agar 5 persen sisa laba bank pemerintah digunakan untuk membantu pendidikan dan disalurkan melalui Yayasan Supersemar. Kebijakan itu, sebut Titiek, dikeluarkan demi membantu pendidikan.

Titiek juga menjelaskan, dana yang dihimpun oleh yayasan selama Perpres itu berlaku jumlahnya mencapai sekitar Rp309 miliar. Sementara itu, total beasiswa yang dikeluarkan Yayasan Supersemar mencapai Rp504 miliar.

Dengan kalkulasi tersebut, Titiek menganggap uang suntikan dari bank sudah ludes diperuntukan beasiswa. (Baca juga: Yayasan Soeharto Alirkan Dana ke Bank dan Sejumlah Perusahaan)

Selain itu, Titiek juga menyebut dana yayasan tidak hanya bersumber dari suntikan tersebut. Dana juga diperoleh dari masyarakat, perusahaan swasta dalam dan luar negeri, serta suntikan dana dari para konglomerat.

"Jadi tidak ada penyalahgunaan dana pemerintah. Itu dana yayasan," kata Titiek.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun belum bisa berbuat banyak lantaran belum menerima salinan putusan PK kasasi kasus ini. (Baca juga: Kasus Supersemar, MA Sebut Salah Ketik Putusan Itu Biasa)

Jika salinan sudah diterima, PN Jakarta Selatan berhak mempertemukan pihak Kejagung dan Yayasan Supersemar untuk membicarakan pembayaran denda yang dikenakan pada yayasan tersebut.

Nantinya, Yayasan Supersemar akan diberi waktu untuk membayar langsung denda sebesar Rp4,4 triliun dalam waktu delapan hari. Jika dalam waktu tersebut pelunasan denda belum terealisasi, maka penyitaan aset dapat dilakukan PN Jakarta Selatan. (meg/rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER