Jakarta, CNN Indonesia -- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menemukan buruknya tata kelola dalam pencegahan kebakaran hutan di Riau. Berdasarkan riset Fitra di beberapa daerah, perencanaan dan alokasi anggaran pencegahan kerusakan hutan masih sangat rendah. Rata-rata di bawah satu persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Koordinator Bidang Data dan Informasi Seknas Fitra, Ahmad Taufik, mengatakan bahwa rendahnya alokasi anggaran di sektor kehutanan dipengaruhi beberapa hal. Pertama, sektor kehutanan tidak dijadikan prioritas oleh kebanyakan pemerintah daerah.
"Ini (kehutanan) sektor yang paling memberikan kontribusi tinggi terhadap pendapatan. Tapi pada saat dikembalikan di belanja, sektor ini kurang mendapat prioritas," kata Taufik saat ditemui di Cawang, Jakarta Timur kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, urusan sektor hutan dan lahan juga tidak dimandatkan dalam konstitusi atau undang-undang. Berbeda dengan sektor lain, misalnya seperti anggaran pendidikan yang dimandatkan dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Begitu juga dengan sektor kesehatan sebesar sepuluh persen dari APBN, di luar gaji pegawai. Sementara, anggaran yang minim tersebut tidak diikuti dengan serapan belanja daerah yang maksimal.
Belanja pengelolaan hutan dan lahan di tingkat provinsi hanya separuh dari belanja bantuan sosial dan hibah. Belanja bantuan sosial dan hibah sebesar 10,2 persen.
Bahkan rata-rata alokasi belanja pengelolaan hutan dan lahan di tingkat provinsi lebih rendah dari kabupaten yang besarnya 5,1 persen dari total belanja daerah.
Selama tiga tahun terakhir, 2012-2015, secara spesifik tidak ada anggaran khusus di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait upaya pencegahan kebakaran dan kerusakan hutan.
Upaya penanggulangan kebakaran hutan kebanyakan dikelola oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Lembaga ini dinilai tidak terlalu spesifik dan paham permasalahan hutan.
Fitra menilai, alokasi anggaran Rp50 miliar per tahun tampak tidak efektif dan justru berbasis proyek penanggulangan bencana.
Kinerja perencanaan anggaran KLHK ini dinilai mirip pemadam kebakaran. Koordinator Fitra Riau, Usman mengatakan, hal itu yang membuat asap di Provinsi Riau terus berulang selama 18 tahun.
Menurut Usman, perencanaan anggaran Pemprov Riau terkait urusan hutan tidak banyak dialokasikan untuk pencegahan kebakaran.
"Semangatnya adalah mematikan api, yang anggarannya lebih besar tentunya. Tapi tidak memiliki semangat bagaimana melakukan pencegahan," kata Usman.
Menurut Usman, kemauan politik pemerintah soal pencegahan hutan tidak ada. Dia mengatakan, visi dan misi kepala pemerintahan di Riau –baik Gubernur, Bupati, Walikota– tidak ada yang mencantumkan penyelematan hutan.
"Kalau ada, tentu 18 tahun kebakaran menjadi pelajaran yang besar," ujarnya.
Atas situasi tersebut, Seknas Fitra merekomendasikan beberapa hal. Pemerintah Joko Widodo perlu memprioritaskan perencanaan dan alokasi anggaran pencegahan kebakaran hutan. Selain itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan perlu meningkatkan peran pemerintah daerah untuk mengatasi kondisi deforestasi dan degradasi yang belum membaik.
Fitra juga mendesak adanya perbaikan dalam tata kelola anggaran pencegahan dan penanggulangan kehutanan yang lebih transparan dan akuntabel.
"Terjadinya kebakaran hutan ini bagian dari pengawasan dan penegakan hukum yang lemah," kata Taufik.
Buruknya tata kelola akan menambah panjang masalah yang bakal dihadapi di sektor kehutanan. Taufik menjelaskan, perbaikan tata kelola sektor ini bisa dimulai dengan membuka akses informasi, melibatkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan, dan pengawasan penegakan hukum. Kelalaian proses tata kelola juga bisa memicu konflik agraria.
(meg)