Jakarta, CNN Indonesia -- Jalan panjang pengacara senior Adnan Buyung Nasution di dunia hukum Indonesia terhenti setelah mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta, hari ini. Yang paling anyar, Buyung tercatat sebagai Ketua Tim Pengacara bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang tersangkut perkara suap dalam mega proyek Pusat Olahraga Hambalang, Sentul, Jawa Barat.
Buyung resmi ditunjuk menjadi Ketua Tim Pengacara Anas pada 15 April 2013 dalam kasus yang diduga merugikan keuangan negara Rp 243 miliar. Anas dijadikan tersangka pada Februari 2013.
Bagi Buyung, langkah dia menjadi pembela Anas dalam proses penyidikan dan persidangan kasus itu bukan demi uang. Melainkan mencari tahu adakah kepentingan politik di balik penetapan Anas sebagai tersangka serta proses hukum setelahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Untuk menjaga, meluruskan agar pemeriksaan berdasarkan hukum dan penghormatan kepada HAM, karena perkara Anas ada nuansa politiknya. Karena itu saya mendampingi Anas,” kata Buyung di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 17 Januari 2014.
Buyung kala itu menyoroti pernyataan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang angkat bicara mengenai perkara Anas.
"Presiden SBY meminta KPK supaya menyelesaikan perkara Anas, ini satu perintah, seharusnya KPK menolak perintah begitu. Kita lihat ya bersama-sama bagaimana pemeriksaan KPK apakah jujur, lurus, adil, atau ini sekedar pencitraan untuk kekuasaan negara ini," ujar Buyung.
(Baca:
Ketua KPK Ruki Belajar Taktik Bela Klien dari Adnan Buyung)
Pernyataan Buyung tersebut jelas menunjukan sikap yang berseberangan dengan SBY. Saat memutuskan menjadi pengacara Anas, satu hal yang diminta adalah agar Anas konsisten dengan semua ucapan dan pernyataannya dalam proses hukum kasusnya.
Terlepas dari kasus yang tengah membelitnya kala itu, Anas menduga ada kejanggalan dalam dana kampanye pemilihan presiden (pilpres) 2009 pasangan SBY dan Boediono. Dugaan tersebut merupakan bentuk perlawanan Anas atas sikap dan tindakan SBY kepadanya.
(Baca:
'Semua Anak Buah Buyung Jadi Penting, dari Todung ke Artidjo')“Jadi kalau dibilang saya menyerang Pak SBY, saya bilang memang iya, hanya untuk merespons apa yang saya alami dari sikap dan tindakan SBY,” kata Anas, 7 April 2014.
Anas juga meminta KPK memeriksa SBY karena mengetahui dugaan aliran dana talangan Bank Century. Namun meski kasus Century berproses di KPK, pernyataan Anas untuk meminta SBY diperiksa tak digubris penyidik.
Lantas masuknya Buyung dalam rivalitas Anas dan SBY memperpanjang perseteruan pengacara senior itu juga dengan SBY. ‘Perseteruan’ keduanya dimulai selepas Buyung menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) saat SBY periode 2007-2009.
(Baca
Sepak Terjang Buyung: Bantu Orang Susah Hingga Kritik SBY)
Buyung kala itu menulis buku berjudul “Nasihat untuk SBY” yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2012. Buku itu kontroversial lantaran Buyung dianggap menabrak ketentuan dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2006 tentang Wantimpres.
Pasal itu berbunyi, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Wantimpres tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak mana pun.
Terkait penulisan buku itu, Buyung mengaku siap jika dia dituntut SBY lantaran membeberkan pertimbangan yang dia berikan selama menjadi Anggota Wantimpres. “Saya dengan sadar melanggar itu, memang orang bilang saya ini kontroversial, tapi saya pikir mesti ada orang yang berani. Dengan segala risiko saya dituntut oleh SBY, bawa ke pengadilan, silakan,” ujar Buyung.
Ketua Mahkamah Konstitusi kala itu, Mahfud MD, menyebut SBY tidak bisa mengajukan tuntutan terhadap buku Buyung. “Enggak ada pelanggaran, karena di dalam aturan itu tidak ada ancamannya, itu kan hanya nilai etis saja,” tutur Mahfud.
(rdk)