FITRA: Setahun Bekerja, Politik Anggaran DPR Tidak Pro Rakyat

Bagus Wijanarko | CNN Indonesia
Kamis, 01 Okt 2015 13:22 WIB
Anggota dewan berpotensi makan gaji buta karena masih banyak anggotanya bolos, target legislasi tak tercapai, dan pengawasan mandul.
Maket Gedung DPR( Lamhot Aritonang Detikcom Photo)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) periode 2014-2015 genap memasuki jabatan satu tahun hari ini. Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyoroti kinerja para legislator khususnya dalam penggunaan anggaran atau bujeting dengan penilaian merah.

Ada tujuh poin dan satu rekomendasi yang menjadi sorotan FITRA ihwal kinerja bujeting anggota dewan. Pertama, DPR dinilai tidak menggunakan kewenangan anggaran dengan landasan memperjuangkan kepentingan rakyat dalam APBN-P 2015. “Akibatnya terjadi ketimpangan kesejahteraan antara kelompok menengan ke atas dan rakyat jelata,” kata Manajer Advokasi FITRA, Apung Widadi, Rabu (1/10).


Dalam APBNP 2015 menurut Apung terdapat perubahan kebijakan belanja terbesar soal adanya pemotongan anggaran untuk subsidi energi sebesar Rp 186,3 triliun menjadi Rp 158,4 triliun. Padahal, tadinya alokasi yang dianggarkan mencapai Rp 344,7 triliun di APBN 2015. Pemotongan ini dinilai bisa memangkas daya saing industri nasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

FITRA dalam poin kedua menyoroti soal proses pembahasan anggaran di dewan yang berpotensi membuka ruang transaksional.Akibatnya, pengawasan anggaran pun menjadi mandul terkait Penyertaan Modal Negara (PMN) BUMN dan hutang 500 triliun untuk BUMN dari China.Sebagai contoh, DPR meloloskan Penyertaan Modal BUMN sebesar Rp. 63 triliun tanpa proposal dari menteri BUMN terkait tata kelola BUMN yang jelas.”PMN disinyalir hanya dipakai sebagai sarana bancakan politisi tanpa ada dampak pendapatan negara dari PNBP BUMN,” kata Apung.


Dalam proses anggaran di poin ketiga, FITRA menyebut dewan tidak mempunyai hitungan alternatif. Ini membuat legislator hanya menjadi stempel kebijakan pemerintah tanpa melakukan tugas koreksi. Contoh dalam hal ini adalah ketika dewan menyetujui rencana pemerintah menarik pinjaman luar negeri dalam APBN-P 2015 sebesar RP 49,2 triliun yang terdiri dari penarikan pinjaman proyek senilai Rp 41,9 triliun. Itu ditambah pinjaman program sebesar Rp 7,3 triliun dan koreksi tambahan Rp 50 triliun untuk menutupi defisit 2,2% yang meleset menjadi 2,7% pada Agustus 2015.

Pada poin ke empat FITRA menyoroti pengelolaan anggaran di internal dewan yang dianggap tidak transparan dan akuntabel. “Tidak berani menggunakan e-budgeting,” kata Apung.Di poin kelima dewan masih mementingkan kebutuhan diri sendiri bukan berorientasi meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam politik anggaran.


Dewan dalam poin ke enam dianggap lemah dalam melakukan fungsi pengawasan dan pelaksanaan anggaran pemerintah. Pada poin ke tujuh dewan berpotensi makan gaji buta lantaran masih banyak anggotanya bolos, target legislasi tidak tercapai, dan pengawasan yang mandul. Sebagai contoh dalam menjalankan fungsi legislasi dewan mendapat anggaran Rp 246 miliar dan mendapat jatah Rp 212 miliar dalam fungsi pengawasan. 

Melihat fakta di atas FITRA memberikan rekomendasi pertama meminta DPR introspeksi diri dalam menjalankan kinerja penganggaran dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Kedua, dewan harus memaksimalkan penggunaan anggaran secara benar agar tidak terjadi pemborosan dan makan gaji buta. Ketiga lembagai yang dipimpin Apung ini menantang dewan agar menggunakan bujeting elektronik. “Untuk menghindari anggaran-anggaran yang tidak wajar, tidak transparan, dan akuntabel,” kata Apung. (bag/bag)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER