Jakarta, CNN Indonesia -- Memperingati Hari Guru Sedunia 2015, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan mencatat ada beberapa faktor yang jadi penyebab masalah pendidikan.
Salah satu penggerak koalisi, Ade Irawan mengatakan, setidaknya ada enam masalah pokok yang berkaitan dengan guru. Beberapa di antaranya adalah rekrutmen guru, distribusi guru yang tidak merata, politisasi guru, pengembangan karier guru, status guru dan kesejahteraannya.
Pegiat Koalisi Pendidikan Jimmy Paat menyoroti persoalan yang terjadi pada rekrutmen guru di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Menurutnya, meski ada 417 LPTK di Indonesia namun tak menjadi pilihan utama bagi para siswa terbaik. LPTK hanya dijadikan cadangan ketika mereka tidak diterima di perguruan tinggi favorit.
"Yang masuk ke sana bukan siswa terbaik, tapi siswa ke tiga atau empat. Ini persoalan," kata Jimmy yang juga mengajar di salah satu LPTK, Universitas Negeri Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
LPTK merupakan perguruan tinggi yang berwenang mendidik calon guru dan guru profesional. Jimmy menilai, pemerintah harus mengontrol kualitas dan jumlah lulusan LPTK negeri maupun swasta agar calon guru memiliki kompetensi yang cakap.
Karut marut dalam mekanisme rekrutmen guru, menurut Ade, secara perlahan telah membentuk kastanisasi dalam guru. "Walau secara umum kewajiban guru PNS dan guru honor di sekolah sama, tetapi haknya berbeda," ujar aktivis Indonesia Corruption Watch itu.
Ade menambahkan, belum ada kebijakan maupun mekanisme yang menggambarkan dengan jelas tahapan karier guru. Guru bersatus pegawai negeri sipil memperoleh ruang yang lebih besar untuk mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan. Hal ini berbanding terbalik dengan guru honorer atau guru swasta.
Pernyataan tersebut dibenarkan salah satu guru SMA 17 Jakarta, Suparman. Menurutnya, saat ini kondisi guru minim pelatihan. Sementara menjelang momen pemilihan kepala daerah, kampanye terselubung dilakukan melalui berbagai seminar maupun pelatihan. Di sisi ini, guru mudah dimanfaatkan sebagai mesin politik calon kepala daerah.
"Guru perlu membangun kekuatan politiknya sendiri untuk mengkonter politisasi yang dilakukan para politisi terhadap guru," kata Suparman.
ICW menemukan fakta bahwa guru kerap dijadikan objek kepentingan politik di daerah. Di beberapa daerah seperti Kabupaten Pandeglang, Banten, jabatan guru dijadikan sebagai "pembuangan" bagi pegawai negeri yang tidak mendukung pemenangan pemilihan.
Sementara pendiri Sekolah Tanpa Batas, Bambang Wisudo mengatakan, mayoritas guru di daerah memegang status sebagai guru honorer. Kastanisasi guru mulai dari PNS, guru honorer, guru bantu, maupun guru sukarelawan, menurut Bambang, hanya melahirkan diskriminasi.
Bambang juga mengkritisi tunjangan sertifikasi yang dinilai tidak mampu menyejahterakan guru. Pasalnya, niat baik tersebut dalam sisi implementasi dan strategi, bagi Bambang, tidak jelas.
"Sertifikasi ternyata tidak menyejahterakan guru, kebanyakan malah dipakai untuk hal konsumtif. Guru malah kebingungan terjerat hutang," katanya.
(sur)