Jakarta, CNN Indonesia -- Draf usulan revisi atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi versi Dewan Perwakilan Rakyat, secara jelas memangkas berbagai kewenangan komisi antirasuah itu, yang salah satunya adalah soal penyadapan.
Persoalan ini termaktub pada Pasal 14 (a) yang mengharuskan KPK meminta izin kepada Kepala Pengadilan Negeri untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
"Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan, setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri," demikian bunyi Pasal 14 (a) versi usulan DPR.
Padahal, sebelumnya di UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang berlaku saat ini, bunyi redaksi hanya berhenti sampai tahap merekam pembicaraan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan," demikian Pasal 12 (a) versi UU KPK yang berlaku saat ini.
Kembali ke penyadapan, padahal sebelumnya KPK meneken ulang kontrak kerja sama terkait penyadapan dengan dua operator, yakni Telkomsel dan Indosat. Penandatanganan ini disaksikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara.
"Ini perpanjangan MoU yang sudah habis. MoU sejak tahun 2006," kata Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi Sapto Pribowo di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/10).
Rudiantara sendiri mengataan ini merupakan bentuk perpanjangan kerja sama pihaknya dengan KPK. "Kalau tidak salah perpanjangan kerja sama Pasal 12 UU KPK ," kata Rudiantara di tempat dan waktu yang sama.
Kontroversi lain dari draf usulan versi DPR adalah membatasi masa kerja KPK hingga 12 tahun ke depan, selain itu juga dalam draf Rancangan UU KPK itu tak mencantumkan kewenangan penuntutan KPK.
Hanya wewenang pencegahan korupsi yang tertera dalam draf RUU KPK. KPK, dalam revisi UU tersebut, tak bisa lagi melakukan penuntutan karena tindakan tersebut menjadi kewenangan Kejaksaan Agung.
Pasal 4 draf revisi UU KPK menyebut komisi antirasuah itu tak lagi bertujuan menjalankan misi pemberantasan korupsi.
"Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pencegahan tindak pidana korupsi," demikian kutipan Pasal 4 RUU KPK.
Padahal dalam UU KPK yang berlaku saat ini, kata "pencegahan" pada pasal itu adalah "pemberantasan."
Selain itu, perubahan juga terjadi pada Pasal 7 (a) yang mengganti kata "pemberantasan" menjadi "pencegahan."
"Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi," demikian kutipan Pasal 7 (a) itu.
Kedua pasal ini berimbas pada pasal-pasal selanjutnya yang kemudian banyak menghilangkan kewenangan penuntutan KPK. Ini misalnya pada Pasal 7 (d) yang menghilangkan unsur penuntutan sebagai tugas KPK.
"Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang diatur di dalam UU ini dan/atau penanganannya di kepolisian dan/atau kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang kekuasaan, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif," demikian kutipan pasal tersebut.
Padahal pada UU KPK saat ini, Pasal 6 (a) menyebut unsur penuntutan termasuk tugas KPK setelah melakukan penyelidikan dan penyidikan.
(pit)