Jakarta, CNN Indonesia -- Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua mengkritik wacana Dewan Kehormatan yang termaktub dalam RUU KPK usulan Dewan Perwakilan Rakyat. Abdullah menyarankan sistem pengawasan yang kini berlaku justru perlu ditingkatkan alih-alih menambah struktur baru.
"Yang ideal itu, diterapkan sistem pengawasan dini baik melalui teknologi IT maupun memfungsikan pengawasan internal," kata Abdullah ketika dihubungi CNN Indonesia, di Jakarta, Kamis (8/10).
Fungsi pengawasan internal yang dimaksud yakni peningkatan kewenangan penasihat KPK. Alhasil, saran yang diberikan pengawas atas sanksi administratif bersifat mengikat bagi pegawai KPK dan bersifat prioritas utama bagi komisioner. Selain itu, Abdullah berharap pengawasan internal tak lagi dalam bentuk direktorat melainkan deputi.
"Sehingga lebih leluasa melaksanakan tugasnya terhadap pengawasan kegiatan dan perilaku pegawai KPK," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, dalam beleid usulan DPR, fungsi pengawasan akan berbentuk struktur baru yang terdiri dari sembilan anggota, yaitu tiga unsur dari pemerintah, tiga unsur dari unsur aparat penegak hukum, dan tiga orang unsur dari masyarakat. Dewan kehormatan ini bersifat ad hoc.
Mereka berwenang memeriksa dan memutuskan dugaan terjadinya pelanggaran penggunaan wewenang yang dilakukan oleh komisioner KPK kepada pegawainya. Sanksi administrasi pun dapat dijatuhkan seperti teguran lisan, tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian dari pegawai KPK.
KPK menolak keras RUU KPK usulan DPR yang sempat disinggung dalam rapat Badan Legislasi, Selasa (6/10). Dalam pernyatan resmi saat jumpa pers, Pelaksana Tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki membacakan enam poin penolakan tersebut.
Masa kerja KPK tak boleh ditentukan dalam hitungan angka. "Tidak perlu dilakukan pembatasan masa kerja KPK yang disebutkan di situ (RUU KPK) paling lama 12 tahun sesuai Pasal 2 angka 2 TAP MPR No 8/2001 MPR RI mengamanatkan pembentukkan KPK dan tidak disebutkan adanya pembatasan waktu," kata Ruki.
Ruki menambahkan, Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji mengatakan ada distorsi pemaknaan kelembagaan KPK. Menurutnya, lembaga adhoc berbeda dengan lembaga ad interm."Sejarah pembentukan UU KPK, kalau memang kita sepakat ad hoc itu sama sekali tidak berbasis durasi tapi untuk maksud dan kondisi," kata Indriyanto. Lembaga antirasuah, menurutnya, dapat ditutup jika korupsi bersih dan tak ditemukan di Indonesia.
pimpinan menekankan pada penghapusan kewenangan penuntutan oleh DPR. "Tidak perlu dihapuskan kewenangan penuntutan karena proses penuntutan yang dilakukan KPK merupakan bagian tidak terpisahkan penanganan perkara terintigerasi," kata Ruki.
Selama 12 tahun berdiri, Ruki menegaskan KPK telah membuktikan ada kerja sama yang baik penyelidik, penyidik, dan penuntut umum. Sejak tahun 2004 hingga semester I tahun 2015, KPK berhasil menggelar penuntutan 350 perkara dan sebanyak 297 perkara telah inkracht (berkekuatan hukum tetap). Sementara 313 perkara telah dieksekusi.
(pit)