Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laloly menegaskan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi bukan diajukan pemerintah, melainkan usulan Dewan Perwakilan Rakyat. RUU itu menuai reaksi keras lantaran isinya yang kontroversial, salah satunya menentukan umur KPK tinggal 12 tahun sejak aturan itu diundangkan.
Yasonna membocorkan lobi politik antara eksekutif dan legislatif terkait kemunculan beleid ini. "Pemerintah tidak ada mengajukan draf (RUU KPK)," kata Yasonna kepada CNN Indonesia.
Menurut Yasonna, parlemenlah yang bergairah untuk merevisi Undang-Undang KPK. Keinginan tersebut tampak pada usulan DPR untuk memasukkan RUU KPK pada bahasan Program Legislasi Nasional untuk tahun 2015-2019.
Merujuk UUD 1945, DPR memiliki hak konstitusional untuk merancang atau merevisi undang-undang. DPR berhak mengusulkannya dalam Prolegnas. Pengajuan terlebih dulu harus melewati sejumlah tahapan seperti pembuatan draf oleh Badan Legislasi atau Komisi III.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada Selasa pekan ini, Badan Legislasi menghelat rapat pembahasan. Draf pun bocor ke awak media.
"Dari dulu, sebagian besar RUU di Prolegnas adalah usulan DPR. Itu ada dorongan karena saat itu Komisi III DPR menginginkan revisi UU KPK jika (pemerintah mengajukan) Perppu KPK (ke DPR)," kata Yasonna yang juga mantan anggota Komisi III DPR di Jakarta, Jumat (9/10).
Awal tahun ini, pemerintah mengajukan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2015 soal Pelaksana Tugas Pimpinan KPK menggantikan pimpinan nonaktif Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ke DPR.
Apabila DPR tak segera menyepakatinya, maka Perppu bisa tak berlaku lantaran tenggat waktu akan habis. Dalam tawar-menawar eksekutif dan legislatif, DPR menginginkan Yasonna menyetujui pembahasan revisi UU KPK.
Bak jauh panggang dari api, Presiden Jokowi tegas menolak RUU KPK lantaran iklim politik tak mendukung. Penolakan juga muncul dari Komisioner KPK yang menekankan enam poin penolakan keras untuk kebijakan itu.
Pelaksana Tugas Ketua KPK Taufiequrachman Rukie mengatakan RUU KPK melemahkan dan mengamputasi kewenangan lembaganya. "Mereka (DPR) jangan-jangan tidak paham kenapa UU KPK dibuat dulu," katanya saat jumpa pers di Kantor KPK, Jakarta.
Masyarakat sipil yang terbentuk dalam Koalisi Pemantau Peradilan juga melontarkan kritik tajam. Mereka menjabarkan 11 poin yang dinilai melemahkan kewenangan KPK. Sejumlah kewenangan seperti penyadapan, penyelidikan, penyidikan, penyitaan, dan penuntutan, dipangkas melalui rancangan usulan DPR itu.
"Jangan bunuh KPK," kata peneliti Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan.
Anggota Dewan pengusul RUU KPK masuk ke dalam Prioritas Prolegnas 2015 terdiri dari 45 politikus beragam fraksi di DPR. Sebanyak 15 orang di antaranya dari Fraksi PDI Perjuangan, 11 dari NasDem, 9 dari Golkar, 5 dari PPP, 3 dari Hanura, dan 2 dari PKB.
Sebelumnya, salah satu inisiator RUU KPK dari Fraksi Golkar, Muhammad Misbakhun, menyatakan RUU KPK yang beredar akhir-akhir ini bukanlah buatan DPR. Menurutnya, rapat Badan Legislasi Selasa lalu baru sebatas membicarakan perihal pengambilalihan insiatif revisi dari pemerintah ke DPR.
Misbakhun mengaku heran karena masyarakat sudah ramai membicarakan RUU KPK. “Orang-orang membicarakan draf yang DPR sendiri tidak membicarakannya. DPR tak pernah membahas itu," kata Misbakhun.
(agk)