Jakarta, CNN Indonesia -- Bekas General Manager PT Hutama Karya Budi Rachmat Kurniawan didakwa korupsi sehingga merugikan negara Rp40,19 miliar. Ia diduga korupsi dalam pengadaan dan pelaksanaan Proyek Pembangunan Diklat Pelayaran Sorong Tahap III pada Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan Tahun 2011.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi Dzakiyul Fikri mengatakan, Budi telah memperkaya dirinya sebanyak Rp536,5 juta.
"Terdakwa (Budi Rachmat Kurniawan) memperkaya diri sendiri sebesar Rp536,5 juta, memperkaya orang lain, memperkaya korporasi PT Hutama Karya, yang dapat merugikan perkenomian keuangan negara sebesar Rp40,19 miliar," kata Dzakiyul saat membacakan berkas dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (9/10).
Dalam aksinya, Budi juga memperkaya Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Satuan Kerja Pusat Pengembangan SDM Perhubungan Laut, Irawan, senilai Rp1 miliar dan Pejabat Pembuat Komitmen Satuan Kerja Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan Laut Sugiarto sebanyak Rp350 juta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara perusahaan yang dipimpinnya memperoleh duit dari pengeluaran riil kepada subkontraktor sebesar Rp19 miliar dan penggelembungan anggaran sebanyak Rp7,4 miliar.
"Terdakwa memperkaya orang lain yakni insentif dan THR (Tunjangan Hari Raya) karyawan Divisi Gedung tahun 2011 sampai 2012 seluruhnya sebesar Rp2,76 miliar," kata jaksa.
Beragam modus dilakukan oleh Budi untuk menikmati duit negara seperti melobi pejabat Kementerian Perhubungan termasuk Irawan, agar perusahaannya memenangkan tender. "Untuk memenuhi permintaan terdakwa, Irawan mengubah metode penilaian secara sepihak," ujar jaksa.
Perusahaan pelat merah ini pun akhirnya mengalahkan dua perusahaan peserta lelang lainnya, PT Panca Duta Karya Abadi dan PT Nindya Karya. PT Hutama Karya pun berhasil mendapat proyek dengan nilai penawaran Rp92 miliar.
Modus lainnya dengan membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dari proyek tersebut. Padahal, HPS seharusnya dibuat oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Budi juga mengalihkan sebagian pekerjaan utamanya ke pihak subkontraktor seperti PT Multidaya Teknik Prakarsa, PT Cahaya Baru Sorong, dan PT Dwijaya Selaras untuk melakukan pekerjaan mekanikal.
Untuk pekerjaan struktur, perusahaan subkontraktor penggarap adalah PT AKAM dan PT Gelar Gatra Laras. Sedangkan pekerjaan arsitektur, Hutama Karya menyerahkan pekerjaan diantaranya ke PT Dinamika Nuansa Terpadu, PT Gelar Gatra Laras, dan PT Ardatama Adigraha Anugrah.
"Terdakwa (Budi) mengalokasikan biaya untuk arranger fee kepada pihak-pihak terkait proyek," kata jaksa.
Untuk memberikan fee proyek kepada para panitia dari pihak Kemenhub, Budi membuat proyek fiktif yang ditandatangani oleh subkontraktor fiktif. Total duit yang dibayarkan kepada subkontraktor fiktif tersebut sebesar Rp10,2 miliar.
"Ada penggelembungan biaya operasional sebesar Rp 7,4 miliar," kata jaksa.
Budi juga didakwa membuat laporan yang tak sesuai dengan kenyataan. Dalam laporan, ia menuliskan seluruh pekerjaan telah rampung 100 persen. Namun, realitanya terjadi kekurangan pekerjaan untuk mekanikal dan elektrik senilai Rp 1,4 miliar, struktur sebesar Rp 919 juta, arsitektur sebanyak Rp 728 juta. Total kekurangan proyek adalah Rp 3,09 miliar.
Budi didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto 18 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dakwaan Pejabat KemenhubIrawan yang sebelumnya telah menjadi tersangka kasus yang sama dengan Budi, juga menjalani sidang pembacaan dakwaan hari ini. Irawan disebutkan oleh tim jaksa telah bersama-sama dengan Budi dan Sugiarto memperkaya diri mereka, orang lain, dan korporasi.
Sama seperti Budi, Irawan juga didakwa pasal yang sama. Irawan dinilai lalai dan menyalahgunakan wewenangnya sebagai Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa. Dalam kasus ini, Irawan memuluskan pemenangan Hutama Karya sebagai perusahaan penggarap proyek.
Irawan yang sebelumnya telah mendekam di Rumah Tahanan Klas I Cipinang, Jakarta Timur itu pun kini harus duduk di kursi pesakitan meja hijau untuk diadili saban minggunya.
(sur)