Jakarta, CNN Indonesia -- Efek jera yang selama ini menjadi argumen penerapan hukuman mati ternyata tidak pernah terbukti. Pernyataan tersebut disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Ricky Gunawan.
"Di mana hukuman mati bisa memberikan efek jera atau efek kejut, yang ada kejahatan tetap terus terjadi. Ini ada yang salah," kata Ricky saat ditemui di Cikini, Jakarta, Kamis (8/10).
Dia mengatakan, seharusnya pemerintah mencari alternatif lain ketika hukuman mati tidak mampu mengurangi penyalahgunaan narkoba. "Itu yang tidak pernah terpikirkan," katanya.
Selama menjabat sebagai Presiden RI, Joko Widodo telah mengeksekusi mati empat belas terpidana. Secara keseluruhan, mereka terjerat kasus narkotika. Salah satu di antaranya adalah warga negara Indonesia, sisanya warga negara asing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ricky menyatakan bahwa beberapa pejabat negara juga telah menyampaikan pendapatnya soal hukuman mati tidak membuat efek jera. Bahkan PBB menegaskan tidak ada bukti ilmiah yang meyakinkan bahwa hukuman mati dapat mengurangi tingkat kejahatan.
Para akademisi di bidang kesehatan publik, melalui jurnal The Lancet, menyatakan kebijakan Indonesia mengenai perang terhadap narkotika salah sasaran. Lantaran lebih mengedepankan kriminalisasi dan pidana, bukan aspek kesehatan masyarakat seperti rehabilitasi.
Ricky menyampaikan beberapa usulan terkait alternatif selain hukuman mati pada perkara narkoba. Pengguna narkoba, menurutnya, tidak perlu dipidana. Melainkan dikenai sanksi, denda, ikut kursus atau pelayanan masyarakat.
Dia memberi contoh penindakan perkara narkoba di Portugal. Di sana, para pengguna narkoba bukan diadili oleh hakim, tetapi ditangani petugas kesehatan atau orang yang mengerti soal adiksi.
"Ada juga dekriminalisasi terhadap pemakai narkotika. Itu tidak sama dengan legalisasi, narkotika tidak dijual bebas," kata Ricky.
Berdasarkan penelitian yang dibuat Badan Narkotika Nasional, jumlah pengguna narkotika pada 2008 mencapai 3,3 juta jiwa. Angka tersebut dicatat akan bertambah sampai dengan 2015 menjadi 5,1 juta jiwa.
Dalam konteks rancangan KUHP, pemerintah sesungguhnya telah bertujuan membatasi pelaksanaan hukuman mati. Pasal 89 RUU KUHP, disebutkan bahwa pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagaibupaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
Peneliti Elsam, Wahyu Wagiman mengatakan, pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun. Apabila selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun.
"Masa tunggu yang lama bisa digunakan untuk melihat perubahan perilaku yg cukup baik. Apabila mengajukan grasi, seharusnya itu menjadi pertimbangan. Namun selama ini itu tidak menjadi pertimbangan penting," katanya.
Namun jika masa percobaan tidak berhasil, pidana mati baru dapat dilakukan. Itu pun setelah grasi yang diajukan oleh terpidana ditolak presiden.
Peneliti ICJR, Anggara, mengatakan bahwa selama ini pemberian grasi bergantung pada situasi hati seorang presiden. "Enggak bisa hukuman mati digantung pada situasi politik pemerintah yg sedang berkuasa," katanya.
(pit/rdk)