Jakarta, CNN Indonesia --
Sejak Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengumumkan rencana pelaksanaan program bela negara wacana mengenai amanat pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tersebut terus bergulir.
Silang pendapat dengan pelbagai dasar pemikiran dan payung hukum mencuat. Secara singkat, ujung dari perdebatan itu berputar dari militerisasi warga sipil hingga upaya mengembalikan nuansa Orde Baru di era kekinian.
Pada diskusi yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies, Senin (19/10), Kepala Badan Pendidikan Kilat Kemhan Mayor Jenderal Hartind Asrin mengatakan bela negara digulirkan agar setiap warga memahami dan menguasai empat pilar kebangsaan, sistem pertahanan keamanan, serta lima unsur dasar bela negara.
Hartind menegaskan, program bela negara hanyalah sebatas penataran pendidikan kewarganegaaran, bukan pendidikan militer apalagi cikal bakal pembentukan komponen cadangan maupun komponen pendukung.
Mantan Kepala Staf Umum TNI, Letnan (Purn) Jenderal Johannes Suryo Prabowo mengatakan pelibatan rakyat dalam sistem pertahanan seharusnya disesuaikan dengan kapasitas dan profesi mereka masing-masing.
Dalam buku berjudul Desain Pertahanan Negara, Suryo menuturkan pelibatan warga negara di sektor pertahanan tidak berarti menjadikan mereka sebagai kombatan. Ia mengutip dua pernyataan mantan petinggi militer untuk menguatkan argumennya.
Dalam konteks perang gerilya, Suryo mengutip perkataan Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution pada buku Pokok-pokok Gerilya yang terbit tahun 1953, perang gerilya tidak berarti seluruh rakyat harus bertempur.
Dalam teori perang gerilya, hanya terdapat dua persen kekuatan bersenjata yang menyerang musuh. Sisanya yang berjumlah 98 persen adalah rakyat yang bersimpati, membantu dan bersifat pasif.
Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono ketika masih menjabat sebagai presiden pada 2011 juga pernah menyinggung keterlibatan warga negara dalam konsep pertahanan negara.
Negara, kata SBY, harus menggunakan semua sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan keamanan negara. Namun, itu tidak berarti seluruh rakyat mengangkat senjata, mendapatkan senapan M-16, senapan serbu SS atau mendapatkan jatah amunisi.
"All element of national power, kita dayagunakan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara kita. Ini penting, jangan salah kaprah," ujarnya seperti dikuti oleh Suryo.
"Kalau perang rakyat semesta, semua harus baris, semua ikut wajib militer, semua mengangkat senjata, diterjunkan ke medan perang. Tidak seperti itu," tutur SBY tentang porsi keterlibatan rakyat dalam pertahanan negara.
Pemikiran serupa diajukan dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Edy Prasetyono, pada diskusi di CSIS, siang tadi. Ia berkata, pemerintah tidak boleh mengartikan konsep bela negara secara sempit, hanya pada konteks militer.
Meskipun berkulit pendidikan kewarganegaraan, Edy mengatakan program bela negara tidak dapat diarahkan ke pembentukan kekuatan pertahanan baru.
"Kalau ingin membentuk kekuatan pertahanan, ada syaratnya. Harus ada kerangka regulasi. Undang-Undang Pertahanan mengatur, pelaksanaan pelatihan dasar militer harus didasarkan pada undang-undang," katanya.
Menurut mantan Menteri Sekretaris Kabinet Andi Widjojanto, pernyataan Edy sebenarnya mengungkap kenyataan tata kelola regulasi di bidang pertahanan.
Kelompok Kerja Propatria untuk Reformasi Sektor Keamanan di awal reformasi mengidentifikasi, Indonesia setidaknya membutuhkan 17 beleid baru di sektor pertahanan dan keamanan.
Namun, hingga saat ini hanya lima yang telah selesai dibahas, yakni UU Pertahanan, UU TNI, UU Industri Pertahanan, UU Kepolisian dan UU Intelijen Negara.
Pasal 7 ayat (2) pada UU Pertahanan mengatur, pertahanan negara dilakukan oleh TNI sebagai kekuatan komponen utama beserta warga negara sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung.
Persoalannya, seperti diutarakan Edy, pengerahan warga negara dalam pembentukan komponen cadangan dan pendukung harus didasarkan pada undang-undang. Hingga kini, menurut Andi, rancangan beleid untuk dua komponen tadi tak kunjung selesai dibahas.
Hartind bahkan menyebut berkas rancangan undang-undang komponen cadangan dan pendukung hanya masuk ke laci meja anggota dewan.
"Ada kelalaian dari pemerintah sebelumnya. Sejak tahun 2002 selalu ada stagnasi. Presiden Jokowi mewarisi stagnasi tersebut padahal programnya sudah harus berjalan," ucap Andi.
Merujuk target Kemhan mendapatkan 100 juta kader bela negara dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan, bela negara disinyalir mempersiapkan kekuatan cadangan untuk menghadapi ancaman perang konvensional yang diprediksi TNI terjadi pada dekade 2030 dan 2040.
Andi sebenarnya melihat ketidaksiapan negara dalam menghadapi ancaman perang nirmiliter, seperti perang siber, yang dianggapnya telah bergulir saat ini.
"Perang asimetris, inkonvensional, penggerusan nilai, pelemahan nilai ekonomi, dan siber. Ketidaksiapan kita menghadapi ancaman-ancaman itu yang saat ini sebenarnya sudah terjadi. Ini ironis," katanya.
Andi mengatakan, daripada secara sinis mengatakan program bela negara sebagai upaya mengembalikan militerisme ala Orde Baru, program tersebut lebih baik dipandang sebagai momentum membangun fondasi pertahanan semesta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(bag)