Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat sentimen anti-Partai Komunis Indonesia masih kuat, termasuk di kalangan Tentara Nasional Indonesia. Hal ini dinilai menjadi salah satu intimidasi terhadap kegiatan pengungkapan peristiwa 1965 di berbagai daerah.
"Ini sudah menjadi doktrin di TNI, dan informasi sebenarnya kebanyakan dari TNI," kata Komisioner Komnas HAM Nur Khoiron dalam acara diskusi di Jakarta, Minggu (25/10).
Menurutnya, informasi soal segala hal berbau PKI sesungguhnya jarang berawal dari Kepolisian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa waktu lalu, Majalah Lentera edisi "Salatiga Kota Merah" yang diterbitkan pers mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana ditarik dari peredaran oleh Kepolisian. Maajalah itu mempublikasikan karya jurnalistik investigasi serta jurnalisme presisi terkait dampak peristiwa Gerakan 30 September 1965 bagi Kota Salatiga, Jawa Tengah.
Majalah tersebut, menurut Markas Besar Polri, mengakibatkan riak di masyarakat yang berpotensi menimbulkan gangguan ketertiban dan keamanan. Polisi melakukan tindakan setelah memperoleh informasi terkait potensi “gangguan” itu.
Namun staf Divisi Humas Markas Besar Polri Ajun Komisaris Besar Achmad Sabri enggan mengungkapkan riak seperti apa yang ia maksud. "Itu konsumsi intelijen untuk disampaikan ke pimpinan,” ujarnya.
Dia berdalih, tindakan Polri dilakukan semata demi menjaga keamanan. Polisi, katanya lagi, bertugas melakukan pencegahan saat ada potensi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Peristiwa terakhir, pembahasan seluruh sesi bertema 1965 pada
Ubud Writers and Readers Festival 2015 di Bali dibatalkan.
Ada pula kasus Tom Iljas di Salido, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Tom yang merupakan korban 1965 dikirim pemerintahan Soekarno untuk belajar ke China. Namun dia harus kehilangan kewarganegaraannya dan tidak bisa kembali ke Indonesia.
Tom yang kini berkewarganegaraan Swedia kembali terusir saat hendak berziarah ke makam ayahnya pada 11 Oktober. Sebelum berhasil ziarah, dia ditahan polisi tanpa alasan jelas dan dideportasi serta dicekal.
Berikutnya di Banyuwangi, Jawa Timur, polisi melarang diskusi tentang lagu "Genjer-genjer." Semua acara berbau 1965 terkesan “disensor.”
Pada 1965, pembunuhan massal terjadi di berbagai daerah di Indonesia yang dipicu oleh peristiwa G30S, yakni tragedi berdarah pada 30 September malam di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh.
Terkait hal ini, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Tatang Sulaiman yang dihubungi CNN Indonesia mengatakan “Akan mempelajari” pernyataan Komnas HAM soal tudingan sentimen anti-PKI di institusinya.
(agk)