Elsam: Setahun Jokowi Memerintah, Ada 27 Pengekangan

Abraham Utama | CNN Indonesia
Kamis, 29 Okt 2015 09:18 WIB
Dari 27 pengekangan kebebasan berpendapat yang dicatat Elsam pada setahun pemerintahan Jokowi itu, 17 di antaranya terkait peristiwa 1965.
Ruang Gamad (ruang seragam angkatan darat) di Museum Jendral Besar AH Nasution, Jakarta. Semula museum ini merupakan kediaman AH Nasution sejak menjabat KSAD tahun 1949 hingga wafatnya pada 6 September 2000. Pada 1 Oktober 1965, di tempat ini terjadi upaya penculikan dan pembunuhan terhadap AH Nasution. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kegagalan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015 menyelenggarakan tiga diskusi panel, satu pemutaran film, pameran dan peluncuran buku yang bertemakan peristiwa 1965 menjadi wujud represi negara yang terkini atas hak memperoleh kebenaran.

Pernyataan itu mengemuka pada diskusi yang digelar Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran di Jakarta. Salah satu kelompok masyarakat sipil yang bergabung dalam koalisi itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), menyatakan larangan Kepolisian terhadap sesi 1965 di UWRF hanya satu dari 27 pengekangan yang dilakukan pemerintahan Jokowi terhadap kegiatan warga.
Sebanyak 27 pengekangan itu, dalam catatan Elsam, terjadi pada periode Oktober 2014 hingga Oktober tahun ini. Secara rinci, 17 kasus di antaranya merupakan pelarangan atas pemutaran film dan diskusi, empat kasus ialah pembubaran paksa atas pertemuan korban peristiwa 1965, dan kasus intimidasi yang menggunakan slogan kekerasan masa lalu.

Pengekangan lainnya berbentuk deportasi, penangkapan secara sewenang-wenang, dan pembredelan. Masing-masing terjadi satu kali dalam setahun terakhir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penangkapan sewenang-wenang terjadi pada Tom Iljas di Salido, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Tom merupakan korban 1965. Dahulu dia dikirim pemerintahan Soekarno untuk belajar ke China. Namun dia harus kehilangan kewarganegaraannya dan tidak bisa kembali ke Indonesia.

Tom yang kini berkewarganegaraan Swedia kembali terusir dari Indonesia saat hendak berziarah ke makam ayahnya pada 11 Oktober. Sebelum berhasil ziarah, dia ditahan polisi tanpa alasan jelas dan dideportasi serta dicekal.

Selang beberapa hari setelah peristiwa itu, pada 16 Oktober, majalah Lentera Merah yang dipublikasikan pers mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, Jawa Tengah, dilarang terbit. Majalah itu menyajikan liputan utama “Salatiga Kota Merah” yang bercerita soal dampak pelanggaran HAM berat tahun 1965 terhadap kota tersebut.
Peneliti Elsam, Wahyudi Djafar, mengatakan pelbagai pengekangan yang mengusik jaminan negara atas rasa aman warga tersebut banyak dilakukan oleh aktor negara seperti Kepolisian dan TNI, persisnya sebanyak 25 dari total 27 kasus.

Menurut Wahyudi, ada organisasi kemasyarakatan yang terlibat pada 11 kasus pengekangan tersebut. Sementara lembaga pendidikan yang mengenal konsep kebebasan mimbar juga, kata dia, berperan sebagai aktor dalam 5 perkara pengekangan.

Secara geografis, Wahyudi memaparkan, seluruh peristiwa pengekangan itu terjadi di lokasi-lokasi yang setelah peristiwa 1965 menjadi basis pemberangusan warga yang dianggap kiri.

Kurikulum pendidikan TNI

Melihat kecenderungan aparat keamanan dan pertahanan yang makin represif dibanding tahun-tahun sebelumnya, Wahyudi mengatakan TNI, terutama TNI Angkatan Darat, perlu merombak kurikulum pendidikan mereka.

Alasannya, komunisme sebagai sebuah konsep ekonomi dan pemerintahan sudah tidak relevan pada masa ini.

"Hanya lima negara yang masih menggunakan konsep itu, yaitu China, Korea Utara, Vietnam, Laos dan Kuba. Mereka pun tidak lagi menerapkannya secara penuh," ujar Wahyudi.

Menjadikan komunisme sebagai potensi ancaman bagi negara, menurutnya, hanyalah cara negara melanggengkan kebenaran sepihak atas peristiwa 1965.
Perubahan kurikulum pendidikan di internal TNI AD diperlukan untuk melahirkan prajurit maupun perwira yang tidak lagi memiliki pola pikir Orde Baru. "Kuncinya ada di tangan Kepala Staf atau Panglima TNI," kata Wahyudi.

Ketika Moeldoko menjabat sebagai KSAD, ujar Wahyudi, dia pernah mewacanakan perubahan kurikulum pendidikan TNI. Namun evaluasi itu bukan dalam rangka menyelesaikan peristiwa 1965, melainkan respons atas Peristiwa Cebongan.

"Saya akan evaluasi dengan serius bidang pendidikan. Kami akan lihat kembali apakah ada sesuatu yang kurang pas saat mereka dijadikan prajurit pertama kali. Saya ingin melakukan perubahan di bidang kultur prajurit," ujar Moeldoko usai dilantik menjadi KSAD, Mei 2013.

Menurut Wahyudi wacana Moeldoko membuktikan, evaluasi terhadap kurikulum pendidikan TNI bukanlah hal yang mustahil dilakukan.

Meski demikian, perubahan kurikulum TNI terkait ancaman komunisme tidak akan pernah menutup jejak kelam Peristiwa 1965, selama pemerintah tidak menggelar penyelesaian seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

"Agak susah kalau tidak ada pengakuan pemerintah atas peristiwa itu," tutur Wahyudi.

TNI AD memang tidak dapat dipisahkan dari Peristiwa 1965. Selain karena enam jenderal mereka menjadi korban Gerakan 30 September, TNI AD melalui Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (kini Komando Pasukan Khusus) turut menumpas mereka yang dianggap berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia.
Wahyudi mengatakan, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebenarnya tidak memiliki kepentingan yang begitu mendalam pada peristiwa 1965.

Apalagi, Laksamana Madya Udara Omar Dhani yang kala itu memimpin Angkatan Udara dinyatakan terlibat Gerakan 30 September oleh Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa. Divonis hukuman mati, Omar mendapatkan grasi dan keluar dari jeruji besi tahun 1995.

Ada pula permohonan para purnawirawan Angkatan Udara kepada Menteri Penerangan era pemerintahan BJ Habibie, Yunus Yosfiah.

Bekas penerbang pesawat tempur itu meminta agar pemerintah tak lagi menanyangkan film Pengkhianatan G30S/PKI di televisi. Mereka merasa Angkatan Udara dipojokkan dalam kasus Gerakan 30 September.

Teguh soal peristiwa 1965

KSAD Jenderal Mulyono pada peringatan Gerakan 30 September bulan lalu, menyatakan pemerintah dan TNI tidak perlu meminta maaf atas Peristiwa 1965.

Saat berpidato di Museum Lubang Buaya, Mulyono mengatakan masyarakat harus waspada terhadap kemunculan bentuk baru dari paham komunis. "Kebangkitan ideologi komunis makin terlihat nyata. Ada kelompok yang ingin memutar fakta sejarah seolah mereka adalah korban," kata dia.
Pernyataan Mulyono serupa dengan perkataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dua bulan sebelumnya.

"Kita pakai logika saja. Jangan menyalahkan orang. Yang memberontak siapa, yang membunuh duluan siapa, yang membunuh jenderal-jenderal TNI itu siapa. Masa yang dibunuh dan diberontakin minta maaf," ujarnya.
Di sisi lain, di depan Sidang Tahunan MPR, Presiden Jokowi Agustus lalu mengatakan akan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dengan cara bijaksana.

"Saat ini pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar paling bijaksana dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Air," kata dia. (meg)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER