Bantahan Lino soal Pengadaan Mobile Crane di Pelindo II

Gilang Fauzi | CNN Indonesia
Selasa, 10 Nov 2015 07:54 WIB
Richard Joost Lino menepis tudingan pengadaan mobile crane bermasalah dan mengaku telah mengikuti semua prosedur yang ditetapkan juga rekomendasi BPK.
Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino seusai menjalani pemeriksaan di Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, Senin, 9 November 2015. RJ Lino diperiksa sebagai saksi terkait dugaan korupsi pembelian 10 mobile crane yang mangkrak di Pelindo II. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau IPC Richard Joost Lino menepis tudingan pengadaan mobile crane bermasalah. Pimpinan perusahaan pelat merah itu menyatakan telah mengikuti prosedur dan peraturan yang berlaku serta melaksanakan rekomendasi sebagaimana hasil audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Tidak benar jika pengadaan mobile crane merugikan negara karena kemahalan. Faktanya, harga pengadeaan lebih rendah dibandingkan yang dianggarkan perusahaan," ujar Lino dalam pernyataan kepada waratawan usai memenuhi panggilan Bareskrim Polri sebagai saksi perkara mobile crane, Senin (9/11).

Menurut Lino, Pelindo II pada tahun 2011 mengadakan lelang terbuka untuk pengadaan 10 unit mobile crane dengan anggaran Rp 58,9 miliar. Pengadaan mobile crane ini dilakukan dalam rangka meningkatkan produktivitas, khususnya kecepatan penanganan barang di pelabuhan.
Proses pengadaan dilakukan dengan cara mengikuti SK Direksi IPC tentang Prosedur dan Tata Cara Pengadaan Barang / Jasa di Lingkungan IPC. Dasar penggunaan SK Direksi adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri BUMN Nomor 5 Tahun 2008.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas pada Januari 2012, setelah melewati proses lelang yang alot, Guanxi Narishi Century M&E Equipment Co. Ltd. dinyatakan keluar sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran setelah pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 45.949.200.000. Setelah negosiasi, harga turun menjadi Rp 45.65 miliar. Harga tersebut diklaim 23 persen lebih rendah dari anggaran dalam RKAP dan masih di bawah HPS.

Lino menegaskan, pengadaan 10 unit mobile crane juga sudah diaudit oleh BPK pada tahun 2014. Berdasarkan hasil Auditama Keuangan Negara VII dengan nomor 10/Auditama VII/PDTT/02/2015, BPK merekomendasikan agar IPC mengenakan sanksi maksimum sebesar lima persen kepada kontraktor atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan.
“Sebelumnya kami mengenakan denda empat persen kepada kontraktor atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Menurut BPK, seharusnya dikenakan denda maksimum lima persen agar tidak terjadi kekurangan penerimaan yang bisa dianggap sebagai kerugian keuangan negara.  Rekomendasi itu sudah kami jalankan dengan memberikan denda tambahan sebesar satu persen atau Rp 456,5 juta kepada kontraktor,” kata Lino.

Terkait dengan penempatan mobile crane yang tidak sesuai dengan rencana investasi sebagaimana ditanyakan oleh BPK dalam auditnya, Lino menyebut hal itu disebabkan adanya perubahan kebutuhan sejalan dengan perkembangan bisnis perusahaan.

Semula pengadaan 10 mobile crane memang direncanakan untuk cabang Banten, Panjang, Palembang, Jambi, Teluk Bayur, Pontianak, Cirebon dan Bengkulu. Dalam perkembangan selanjutnya, Dewan Direksi sepakat merelokasi alat dengan pertimbangan mobile crane tersebut lebih dibutuhkan di Tanjung Priok yang sedang menata pola layanan di setiap terminalnya.
“Jadi, masalah audit BPK ini sebenarnya sudah clear. Hasil audit tidak menyatakan adanya kerugian keuangan negara. BPK hanya merekomendasikan agar dikenakan denda tambahan kepada kontraktor yang mana hal itu sudah kami tindaklanjuti dan jalankan,” kata Lino.

Lino menambahkan, sebelum disita polisi, 10 unit mobile crane tersebut juga sudah beroperasi. Berdasarkan catatan log book dan nota jasa layanan, peralatan tersebut menghasilkan pendapatan Rp 3,7 miliar selama periode April 2014 – Juli 2015. (pit)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER