KontraS Minta Kapolri Revisi Surat Edaran Ujaran Kebencian

Aulia Bintang Pratama | CNN Indonesia
Selasa, 10 Nov 2015 17:45 WIB
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melihat ada definisi yang melenceng dari surat edaran. Ada hal penting yang tidak ada di situ.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti saat memberi keterangan kasus pembakaran rumah ibadah di Aceh Singkil, Selasa (13/10). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Surat Edaran No. 6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian yang diterbitkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti masih terus menuai pertentangan di publik. Kali ini Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menganggap ada ketidaktepatan dari surat edaran tersebut.

Kepala Divisi Advokasi Hak Sipil dan Politik KontraS Putri Kanesia mengatakan bahwa apa yang terdapat dalam surat edaran tersebut berbeda dengan berkas yang menjadi rujukannya.

"Saya melihat adanya definisi yang melenceng dari surat edaran tersebut, ada hal penting yang tidak ada di situ," kata Putri saat ditemui di kantor KontraS, Selasa (10/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Putri sebenarnya rujukan yang digunakan Kapolri dalam membuat surat edaran itu sudah benar. Sayangnya, isi dari surat edaran ada melenceng dari rujukan-rujukan.

Karena itu KontraS mendesak agar Kapolri segera melakukan revisi terhadap surat edaran tersebut dan tak perlu takut penanganan kasus-kasus yang berhubungan dengan ujaran kebencian akan terganggu seandainya surat edaran direvisi.

"Dengan direvisinya surat edaran tersebut, menurut saya malah akan membuat petugas kepolisian di lapangan tidak menemukan kesulitan dalam menginterpretasikan ujaran kebencian," tutur Putri.

"Ketika ada aturan yang tidak jelas justru nantinya akan berdampak buruk bagi anggota kepolisian saat melakukan tindakan di lapangan."

Beberapa kesalahan yang Putri maksud adalah tidak pasnya rujukan pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang digunakan dalam surat edaran. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Miko Ginting menambahkan bahwa pasal-pasal tersebut tidak pas untuk definisi ujaran kebencian itu sendiri.

Pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 310 dan 311 KUHP yang berisi tentang pencemaran nama baik. Menurut Miko pencemaran nama baik tidak bisa disamakan dengan ujaran kebencian.

Alasannya adalah pencemaran nama baik diidentikkan pada perbuatan yang dilakukan oleh satu orang individu, sementara ujaran kebencian lebih ditekankan pada perbuatan antarkelompok.

"Hate speech itu jangan hanya dipenggal dalam ujaran kebenciannya saja, melainkan berbasis pada agama, ras, etnis, hingga masalah gender. Itu artinya ada konteks kelompok," kata Miko.

Tak hanya soal pencemaran nama baik, dimasukkannya poin penghinaan dan perbuatan tidak menyenangkan juga dianggap Miko sebagai sebuah kesalahan. Padahal, lanjut Miko, poin-poin itu tidak sama dengan ujaran kebencian karena dalam penegakan hukumnya ujaran kebencian termasuk delik biasa.

Sedangkan pencemaran nama baik, penghinaan, serta perbuatan tidak menyenangkan harus menggunakan delik aduan.

"Apalagi, Mahkamah Agung telah menghilangkan frasa perbuatan tidak menyenangkan dari KUHP. Jadi adalah hal aneh saat Kapolri memasukkannya ke surat edaran," ujarnya.

"Jika direvisi maka itu menjadi langkah maju sebanyak tiga atau empat langkah dan menunjukkan Polri telah berani mengambil inisiatif." (obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER