Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menampik penilaian lembaga advokasi dan pemerhati demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia SETARA Institute terhadap dirinya yang dianggap enggan mengungkap kebenaran di balik peristiwa 1965.
Prasetyo mengaku tak pernah berkata tidak mendukung jalannya Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 yang terjadi di Indonesia, atau
International People’s Tribunal (IPT) 1965.
"Kami tunggu putusan di sana seperti apa. Bukan tidak mendukung, mana ada kata-kata saya yang bilang tidak mendukung? Kami harus cari solusi terbaik supaya bangsa ini tidak tenggelam dalam konflik masa lalu. Nah caranya dengan rekonsiliasi," ujar Prasetyo saat dihubungi, Rabu (11/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Prasetyo, penyelesaian perkara 1965 tidak bisa hanya mengandalkan lembaga yang ia pimpin. Koordinasi antar lembaga hukum dan Kementerian terkait harus dilakukan untuk mengungkap kebenaran di balik peristiwa 50 tahun lalu.
"Peristiwa 1965 kan sudah 50 tahun lalu, siapapun pasti akan berkata sulit mengungkap siapa saksinya atau pelakunya. Kejaksaan bukan satu-satunya lembaga yang menyelesaikan masalah ini. Jadi harus dipahami posisinya Kejaksaan, dan aktor-aktor lain dalam pengusutan peristiwa itu," katanya.
Sebelumnya, Ketua SETARA Institute Hendardi menyampaikan kecamannya terhadap Prasetyo dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu atas komentar kedua tokoh tersebut menanggapi peradilan IPT 1965.
"Pernyataan Jaksa Agung dan Menhan RI menunjukkan secara nyata kualitas kepemimpinan keduanya yang antipengungkapan kebenaran. Keduanya adalah musuh humanisme karena tidak memiliki keberpihakan sama sekali pada pengungkapan kebenaran,” kata Hendardi.
Dalam IPT 1965, negara Indonesia duduk sebagai terdakwa. Indonesia dituduh melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, penyiksaan, penganiayaan, penghilangan paksa orang-orang, dan penganiayaan melalui propaganda.
Semua tindakan tersebut dituding bagian dari serangan meluas dan sistematis yang ditujukan kepada Partai Komunis Indonesia dan orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya.
Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana berharap melalui pengadilan rakyat itu, pemerintah Indonesia mau mengakui kejahatan yang dilakukan negara terhadap rakyatnya usai peristiwa Gerakan 30 September 1965.
(rdk)