Jakarta, CNN Indonesia -- Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Junimart Girsang, heran dengan Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 di Indonesia atau
International People’s Tribunal (IPT) 1965 yang sedang digelar di Den Haag, Belanda.
Menurut Junimart, tidak pas persoalan dalam negeri disidang di negara lain. “Kacaulah itu. Kita kan bisa bentuk pengadilan hak asasi manusia sendiri. Jadi kenapa tidak disidang di sini saja?” kata anggota Komisi Hukum DPR itu di Jakarta.
Dia pun tak setuju dengan posisi Indonesia sebagai terdakwa dalam IPT 1965. Menurut Junimart, Indonesia justru menjadi korban, dan oleh sebab itu menurutnya pemerintah Republik Indonesia tak perlu meminta maaf terkait peristiwa 1965.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Yang jadi korban itu kita, Indonesia. Para jenderal kita yang mati. Kita yang rugi. Kita ini korban,” ujar Junimart.
Indonesia menjadi terdakwa dalam IPT 1965. Negara dituduh melakukan pembunuhan, perbudakan, penahanan, penghilangan paksa orang-orang, dan penganiayaan melalui propaganda yang menyasar anggota Partai Komunis Indonesia dan orang-orang yang diduga sebagai simpatisannya.
Pengadilan Rakyat 1965, menurut Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana, diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia untuk mengakui kejahatan yang dilakukan negara terhadap rakyatnya usai G30S –tragedi berdarah pada malam 30 September 1965 di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh.
Jaksa Penuntut Umum pada IPT 1965, Todung Mulya Lubis, mengatakan sidang rakyat digelar bukan untuk membela PKI, melainkan untuk mengungkap kebenaran dalam kasus kejahatan kemanusiaan pada periode 1965 seperti yang disimpulkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam hasil investigasinya.
Sementara politikus PDIP lainnya yang juga duduk di Komisi Hukum DPR, Masinton Pasaribu, pun berpendapat pengadilan terkait dugaan pelanggaran HAM di Indonesia mestinya cukup digelar di dalam negeri.
"Ini menyangkut kedaulatan hukum Indonesia," kata Masinton mengemukakan pendapatnya.
Masinton meminta agar pemerintah terus mengupayakan pengungkapan kebenaran melalui dialog dan rekonsiliasi yang hingga saat ini terkesan masih jalan di tempat.
Dia juga berharap pemerintah RI dapat menyelesaikan tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM periode 1965-1966, untuk kemudian meluruskan sejarah yang kebenarannya hingga kini kerap dipertanyakan.
Aktivis HAM Chairul Anam mengatakan Pengadilan Rakyat 1965 digelar di Den Haag, Belanda, karena laporan mengenai dugaan pelanggaran HAM berat 1965 tak pernah direspons serius oleh Kejaksaan Agung.
“Sudah pernah melapor ke Kejaksaan Agung, tapi didiamkan, sehingga mereka ‘keluar’,” kata Chairul.
Laporan yang tak ditanggapi tersebut, ujar Direktur Eksekutif Human Rights Working Group itu, pun hanya menyebutkan adanya pelanggaran HAM berat di Indonesia pada tahun 1965, tanpa menyebut spesifik peristiwa G30S.
(agk)