Sumarsih sebenarnya sangsi dengan argumentasi petugas polisi yang menggunakan acuan UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum untuk melarang dia dan aktivis Kamisan. Kesangsian itu dia rasakan karena larangan Kamisan dilakukan tepat setelah Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menerbitkan Surat Edaran (SE) Ujaran Kebencian.
Di saat yang sama juga ada Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 232 tahun 2015. Pasal 4 Pergub tersebut menyebutkan, dalam rangka penyampaian pendapat di muka umum pada ruang terbuka, pemerintah daerah menyediakan lokasi antara lain di Parkir Timur Senayan, Alun-Alun Demokrasi di DPR, dan Silang Selatan Monumen Nasional.
Apalagi, dirinya juga mengikuti perkembangan mengenai International People’s Tribunal (IPT) 1965 di Den Haag, Belanda, yang mendapat pertentangan kuat dari pejabat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Larangan ini apakah benar karena UU 9/1998? Atau sebenarnya terkait Pergub 232, SE Ujaran Kebencian, dan IPT? Kami sebenarnya tidak tahu,” ujar Sumarsih.
“Yang pasti, larangan ini membuat orang yang sudah tertindas, jadi semakin tertindas.”
(rdk/rdk)