Jakarta, CNN Indonesia -- Maria Catarina Sumarsih masih ingat betul ketika pertama kali memulai Aksi Kamisan, 18 Januari, delapan tahun lalu. Yang ada di benaknya adalah, agenda reformasi sang putra yang dipanggil Tuhan saat melakukan aksi demonstrasi menuntut reformasi bisa terus berlanjut.
Sumarsih ingin menegaskan, semangat reformasi putranya, Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya, Jakarta, yang tewas dalam peristiwa Semanggi I, terus menyeruak dalam sanubari setiap orang. Terutama dalam diri Sumarsih, yang saban hari Kamis berdiri mematung di depan Istana Negara untuk menuntut keadilan dan menagih janji reformasi.
Tetapi mulai hari ini, Sumarsih dilarang melakukan Aksi Kamisan. Hari ini adalah Aksi Kamisan ke-420. Polisi yang bertugas jaga di depan Istana dalam Kamisan ke-419 pekan lalu berujar kepada Sumarsih, “Ibu, hari ini masih boleh aksi Kamisan, tetapi mulai minggu depan, enggak boleh lagi karena melanggar undang-undang (UU).”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(Baca:
Kamisan, Penjaga Nyala Api Harapan)
Menurut Sumarsih, yang juga menjabat Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), alasan sang petugas polisi melarang dirinya dan aktivis Aksi Kamisan adalah UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 9/1998 menyebutkan, penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan di tempat terbuka untuk umum kecuali di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan objek vital nasional.
Dalam bagian penjelasan pada Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 9/1998 disebutkan, yang Yang dimaksud dengan pengecualian di lingkungan istana kepresidenan adalah istana presiden dan istana wakil presiden dengan radius 100 meter dari pagar luar. Pengecualian untuk instalasi militer meliputi radius 150 meter dari pagar luar.
“Kalau saya disebut melanggar UU 9/1998, apakah yang membunuh anak saya tidak lebih melanggar konstitusi? Kenapa tidak diproses?” kata Sumarsih, saat berbincang dengan CNN Indonesia, Selasa malam (17//11). Ada getar yang dia kontrol saat mengatakan hal itu.
“Saya akan tetap ke sana, di depan Istana. Saya tidak mau bergeser dan menjauh dari depan Istana.”
Argumentasi lain yang ditekankan Sumarsih, tidak pernah ada fasilitas umum dan ketertiban umum yang terganggu selama dia dan aktivis lain melakukan Aksi Kamisan. Aksi diam berpayung hitam di depan Istana memang hanya ingin menunjukan kepada penguasa saat ini bahwa keadilan atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tidak akan pernah dilupakan.
Larangan petugas polisi untuk tidak lagi melakukan Aksi Kamisan di depan Istana mulai hari ini, tidak digubris Sumarsih. Dia malah akan kembali membawa surat, seperti biasanya, untuk menekankan keberadaan para aktivis diam di seberang singgasana sang presiden.
Selasa malam (17/11), Sumarsih membacakan isi surat tuntutan dari laptopnya kepada CNN Indonesia. Dalam surat itu, ada tiga hal yang ingin disampaikan ibu kelahiran Rogomulyo, 5 Mei 1952 ini.
Tuntutan pertama, meminta pemerintah menerapkan UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dengan jujur dan tanpa rekayasa. Kedua, meminta Presiden Joko Widodo menegakan supremasi hukum dan HAM dan menindaklanjuti berkas Komisi Nasional HAM dalam kasus pelanggaran HAM.
“Ketiga, agar diselenggarakan program pembelajaran dan pelatihan aparat agar negara ini benar bermartabat dan terpercaya,” kata Sumarsih.
Sumarsih tak mau mendebat soal pasal yang disebut dia langgar jika tetap berkeras melakukan aksi diam di depan Istana, dengan radius 100 meter seperti yang selama ini dia lakukan. Bagi Sumarsih, melarang Aksi Kamisan depan Istana berarti membungkam kebebasan berpendapat.
“Berarti kita kembali ke era Orde Baru,” ujarnya, singkat dan tegas. Sumarsih sebenarnya sangsi dengan argumentasi petugas polisi yang menggunakan acuan UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum untuk melarang dia dan aktivis Kamisan. Kesangsian itu dia rasakan karena larangan Kamisan dilakukan tepat setelah Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menerbitkan Surat Edaran (SE) Ujaran Kebencian.
Di saat yang sama juga ada Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 232 tahun 2015. Pasal 4 Pergub tersebut menyebutkan, dalam rangka penyampaian pendapat di muka umum pada ruang terbuka, pemerintah daerah menyediakan lokasi antara lain di Parkir Timur Senayan, Alun-Alun Demokrasi di DPR, dan Silang Selatan Monumen Nasional.
Apalagi, dirinya juga mengikuti perkembangan mengenai International People’s Tribunal (IPT) 1965 di Den Haag, Belanda, yang mendapat pertentangan kuat dari pejabat di Indonesia.
“Larangan ini apakah benar karena UU 9/1998? Atau sebenarnya terkait Pergub 232, SE Ujaran Kebencian, dan IPT? Kami sebenarnya tidak tahu,” ujar Sumarsih.
“Yang pasti, larangan ini membuat orang yang sudah tertindas, jadi semakin tertindas.”