Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Berjuang dan kepahitan hidup terkadang berbatas tipis. Tanyakan hal itu kepada Filep Samuel Jacob Karma.
Ia 11 tahun mendekam di penjara karena memperjuangkan apa yang ia sebut ketidakadilan dan hak kebebasan. Lelaki kelahiran 15 Agustus 1959 itu harus menghabiskan hampir seperlima hidup untuk keyakinannya: mengibarkan bendera Papua sebagai simbol kemerdekaan.
Filep rela menukar kenyamanan hidupnya. Ia toh berasal dari keluarga terpandang di Papua. Andreas Karma, ayah Filep, adalah seorang bupati populer di Papua. Andreas pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Jayapura pada 1968 hingga 1971. Lalu kursi Bupati Wamena pada 1970-an, serta Serui pada 1980-an.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika bertemu dengan Filep di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Abepura, Jayapura, akhir Agustus lalu, saya menemukan sosok yang humanis dan sederhana. Ia jauh dari kesan orang yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan massa. Juga bukan seorang revolusioner dan megalomaniak.
Filep sensitif. Itu sangat menonjol dari dirinya. Ia sangat terganggu dan menentang diskriminasi dari segi apapun, baik suku, agama, ras, maupun antar golongan.
Sebuah pengalaman hidup ketika menempuh jenjang akademis di Surakarta begitu membekas. Ia mendapat perlakuan diskriminatif dari beberapa teman kuliahnya.
Ia bercerita, salah seorang anak dari trah Raja Solo pernah bicara kepadanya di depan teman-teman Filep, 'Wah, kok kamu hitam sekali sih. Hitam, keriting.' Hal itu pada akhirnya menjadi bahan tertawaan.
Kali lain, Filep pernah disuruh mengikuti upacara 17 Agustus-an. Ia mengaku saat itu menyiapkan pakaian rapi dan berdasi. Namun, temannya ada yang tidak berangkat. Ketika ia menanyai temannya, jawabannya adalah, 'Ya kalian itu, orang Irian yang baru merdeka, yang perlu ikut upacara.' Hati Filep sakit.
Namun, baginya, dorongan terkuat dalam memilih jalan perjuangan yang terjal adalah karena melihat masyarakat Papua yang dalam penilainnya berada dalam tekanan. Ia mempertanyakan represi militer Indonesia yang terus saja terjadi hingga sekarang dan juga status bergabungnya Papua ke Indonesia yang ia nilai berasal dari hasil manipulasi.
 Filep Karma di depan pintu masuk Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Abepura. (CNN Indonesia/Giras Pasopati) |
Ketika Penentuan Pendapat Rakyat pada Juli-Agustus 1969 mengenai Status Penentuan Papua hanya 1.025 orang dipilih untuk memberikan suara. Semuanya setuju Papua bersatu dengan Indonesia. Ketika hasil dibawa ke Sidang Umum PBB, 82 negara menerima resolusi dan 30 abstain.
Di lapangan, intimidasi dan intervensi pemerintah Indonesia melalui pihak militer terjadi secara masif untuk mengamankan hasil Pepera. Untuk persoalan yang satu ini, sudah banyak buku kajian baik dari dalam dan luar negeri yang bercerita.
Gambaran akan konsekuensi pilihan yang dijalani Filep sebenarnya sudah ada dan sangat jelas, bahkan sebelum ia memilihnya. Pilihannya untuk memperjuangkan keadilan dan kejelasan status pulau berpenghuni 3,4 juta orang itu membuat para pendahulunya pergi dari Indonesia, hilang, hingga meninggal.
Contoh yang masih belum lekang dari ingatan, Theys Hiyo Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua (PDP) bentukan Abdurrahman Wahid. Ia dianggap membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), diculik, dan ditemukan tak bernyawa dalam mobilnya pada 10 November 2001. Pihak militer Indonesia didakwa melakukan pembunuhan Theys.
Salah seorang terdakwa pelaku pembunuhan, Letkol Hartomo, dihukum penjara 3,5 dan dinyatakan dipecat dari kesatuan. Ironisnya, Hartomo diketahui malah naik pangkat menjadi komandan Group I Kopassus di Serang.
Ironisnya lagi, Ryamizard Ryacudu yang saat itu menjabat Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal malah memuji para terdakwa sebagai “pahlawan Indonesia” karena membunuh “pemberontak”. Ini membuktikan bahwa pihak militer Indonesia belum bisa lepas dari sikap represif.
Saat mendengar pembunuhan Theys, Filep mengaku sedang berenang di sebuah kolam renang umum di Jayapura. Ia kaget dan marah dengan sikap represif militer Indonesia yang tak kunjung padam. Hal yang menyulut keberaniannya untuk berjuang melawan apa yang ia sebut kolonialisme pemerintah Indonesia.
Pada 1 Desember 2004, Filep Karma mengatur acara peringatan deklarasi kemerdekaan Papua dengan pertemuan kecil di lapangan Trikora, Abepura. Ia kemudian ditangkap dengan tuduhan makar dan dihukum 15 tahun penjara oleh Pengadilan Abepura.
Penahanan Filep dikecam oleh banyak organisasi internasional karena dinilai melanggar HAM. Terbukti kemudian penahanan Filep malah menjadikannya burung Cenderawasih dalam sangkar. Ia menjadi simbol perlawanan dan niat yang terteguhkan bagi warga Papua untuk menentukan nasih sendiri. Bentangan sayapnya menembus dinding penjara yang mengungkungnya.
Kini, Filep bebas dari jeruji besi. Pemerintahan Joko Widodo memberikannya remisi yang membuat masa hukumannya habis. Remisi yang sebelumnya selalu ditolak Filep karena ia merasa bukanlah seorang kriminal.
Kalaulah Filep menerima remisi itu sekarang bukan karena api perjuangannya sudah padam. Malah sebaliknya. Ia sempat menyatakan bahwa meski keluar dari penjara Abepura, ia sekarang berada dalam penjara yang lebih besar, yaitu Republik Indonesia.
Saya menjadi ingat salah satu ucapan dalam film
The Shawshank Redemption. Ellis Boyd 'Red' Redding yang diperankan oleh Morgan Freeman bilang, “Aku harus mengingatkan diri sendiri bahwa beberapa burung memang tidak dimaksudkan untuk dikurung. Bulu mereka terlalu berkilau.”
Filep Karma mungkin salah satu dari beberapa burung yang diamsalkan dalam film itu.
(agk/dlp)