Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua DPR Setya Novanto bukan hanya menolak disebut bersalah dalam perkara etik rekaman dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Novanto juga menyebutkan, ada tujuh alasan yang membuat rekaman soal Freeport bisa dikatakan ilegal.
Salah satu alasannya yaitu Presiden Direktut Freeport Maroef Sjamsoeddin bukan seorang penegak hukum yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk merekam atau menyadap pembicaraan pejabat negara atau warga negara Indonesia atau siapapun di Indonesia.
“Saudara Maroef Sjamsoeddin adalah pegawai swasta perusahaan asing di Indonesia, bukan penegak hukum,” kata Novanto dalam salinan nota pembelaan dirinya yang beredar di kalangan wartawan hari ini, Senin (7/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Novanto, jika rekaman ilegal dari Maroef tersebut dipergunakan sebagai alat bukti, maka akan merusak tatanan kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan dianggap sebagai tindakan melawan hukum.
“Bahwa tindakan Saudara Maroef Sjamsoeddin melakukan perekaman adalah sebuah tindakan kriminal, sangat jahat, dan tidak beretika,” ujar Novanto.
Novanto juga menyebut, dasar pengaduan yang dilakukan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merupakan sebuah rekaman yang ilegal. “Saya sangat keberatan bila rekaman ilegal itu dijadikan alat bukti dalam persidangan ini,” ujar Novanto.
Tak hanya itu, Novanto juga menyebut bahwa rekaman ilegal tersebut diperoleh dengan cara melawan hukum dan bertentangan dengan UU di Indonesia. Dia mencontohkan, lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Intelijen Negara (BIN), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian, perlu melewati prosedur yang berlaku sebelum melakukan rekaman dan penyadapan.
“Berdasarkan hal itu, saya mohon Yang Mulia mengesampingkan semua dalil dan tuduhan yang didasarkan dari rekaman ilegal atau tidak menjadikan rekaman ilegal itu alat bukti persidangan ini,” tutur Novanto.
(rdk)