Jakarta, CNN Indonesia -- Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberondong pertanyaan ke lima pegawai perusahaan pelat merah, PT Hutama Karya, di Jakarta, Jumat (11/12). Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakaan, kelimanya diminta keterangan terkait korupsi pengadaan dan pelaksanaan pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayara di Kabupaten Sorong tahun 2011.
"Anri Rienal Siregar, Linggo Handoyo, Wiku Murti, R. Soetanto, dan Joko Waluyo diperiksa untuk tersangka DJP (Djoko Pramono)," kata Yuyuk ketika dikonfirmasi.
Mereka dianggap mengetahui, menyaksikan, atau mendengarkan perkara korupsi yang menyeret bekas Kepala Pusat Sumber Daya Manusia di Direktorat Perhubungan Laut ini. Pemeriksaan bakal dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menjadi dasar para jaksa untuk merumuskan berkas dakwaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemeriksaan pada pegawai perusahaan tersebut juga telah dijadwalkan kemarin. Mereka adalah Bambang Suprih Edi, Paryanto, Mochamad Kosim, dan pensiunan Rudy Hertanto.
Djoko disangka melakukan korupsi bersama dengan Dirjen Perhubungan Laut Bobby R Mamahit. Kala itu, Bobby menjabat sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia di Kementerian Perhubungan.
Keduanya disangka melanggar pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam U Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Mereka disangka menyalahgunakan wewenang dan memperkaya diri sendiri.
Diduga, kerugian negara mencapai Rp40 miliar.
Tiga orang telah menjadi pesakitan dalam kasus ini yaitu bekas General Manager PT Hutama Karya Budi Rachmat Kurniawan, Pejabat Pembuat Komitmen Satuan Kerja Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan Laut Sugiarto, dan Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Satuan Kerja Pusat Pengembangan SDM Perhubungan Laut, Irawan.
Budi telah didakwa merugikan negara senilai Rp40 miliar. Ia dinilai memperkaya diri sendiri sebesar Rp 536,5 juta, memperkaya orang lain, dan memperkaya korporasi PT Hutama Karya.
Irawan juga disebut menikmati duit Rp1 miliar dan Sugiarto mengantongi Rp350 juta. Sementara perusahaan pimpinannya, memperoleh duit dari pengeluaran riil kepada subkontraktor sebesar Rp19 miliar dan penggelembungan anggaran sebanyak Rp7,4 miliar.
Beragam modus dilakukan Budi untuk menikmati duit negara seperti melobi pejabat Kementerian Perhubungan termasuk Irawan, agar perusahaannya memenangkan tender. Bobby disebut menerima Rp480 juta dan ikut membantu pemenangan tender. Bobby sempat bertemu dengan Budi sekitar Bulan Februari 2011, di Gedung Kemenhub, Jakarta.
Hal yang sama juga dilakukan kepada Djoko Pramono. Djoko disebut menikmati duit senilai Rp620 juta. Djoko juga meminta perusahaan pelat merah untuk memberikan fee komitmen 10 persen untuk para pejabat Kemenhub yang berwenang dalam proyek tersebut.
Perusahaan pelat merah ini pun akhirnya mengalahkan dua perusahaan peserta lelang lainnya, PT Panca Duta Karya Abadi dan PT Nindya Karya. PT Hutama Karya pun berhasil mendapat proyek dengan nilai penawaran Rp92 miliar.
Modus lain dengan membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dari proyek tersebut. Padahal HPS seharusnya dibuat oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Budi juga didakwa membuat laporan yang tak sesuai dengan kenyataan.
Dalam laporan, ia menuliskan seluruh pekerjaan telah rampung 100 persen. Namun realitanya terjadi kekurangan pekerjaan untuk mekanikal dan elektrik senilai Rp1,4 miliar, struktur sebesar Rp919 juta, arsitektur sebanyak Rp728 juta. Total kekurangan proyek adalah Rp3,09 miliar.
(rdk)