Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti Divisi Kehutanan Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) Citra Hartati mengatakan, pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla layak diberi nilai merah dalam catatan akhir tahun pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia.
"Dari skala 1-10, pemerintah hanya layak diberi nilai 3," kata Citra di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (22/12).
Berdasarkan hasil penelitian Indeks Kelola Hutan dan Lahan Daerah (IKHL) yang dilakukan ICEL dengan Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) pada 16 kabupaten tahun 2015, tidak ada peningkatan kinerja pemerintah daerah untuk pengelolaan hutan dan lahan dalam rentang waktu 2012-2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2012, rata-rata indeks hanya menunjukan skor 18,7 (kategori buruk) dan tahun 2014 skor IKHL hanya sedikit menanjak ke angka 22,7 (kategori buruk).
Selain itu, pada 2012 hanya terdapat masing-masing satu kabupaten berkategori baik dan sedang. Sedangkan tahun 2014, tidak ada sama sekali kabupaten yang masuk dalam kategori baik
"Hal ini menunjukan lemahnya prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan koordinasi dalam pengelolaan hutan dan lahan daerah," ujar Citra.
Citra menjelaskan, dalam hal transparansi, data terkait pengelolaan hutan yang disediakan pemerintah masih minim dan belum terbuka. Sedangkan untuk akuntabilitas, pemerintah daerah dinilai cenderung hanya memenuhi kewajiban prosedural dibanding peningkatan kualitas pertanggungjawaban ke publik.
Gagal Antisipasi Kebakaran HutanCitra menilai pemerintahan Jokowi-JK masih melanjutkan tradisi kegagalan pemerintah sebelumnya dalam hal pengendalian kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Sebab, pada tahun ini titik api (hotspot) tersebar di 18 provinsi dengan nilai kerugian lebih dari Rp20 triliun. Ditambah korban jiwa yang jatuh akibat bencana ini mencapai lima orang.
Citra menuturkan, hal ini diperparah dengan kehancuran ekosistem dan lahan seluas 1,7 juta hektare akibat karhutla. Akibatnya, karhutla diprediksi menyumbang 1 miliar ton karbondioksida ke udara.
"Diprediksi akan menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga penyumbang emisi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan China," kata Citra.
Direktur Eksekutif ICEL Hendry Subagyo menegaskan, persoalan karhutla selalu terulang karena konsistensi dalam penegakan hukum yang selalu surut saat api padam dan belum terkoordinasi serta minim transparansi kepada publik.
Hendry melihat angka pelaku pembakar hutan dan lahan yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau Kepolisian, belum terlihat padu.
Kemarin Senin (21/12), Kementerian LHK mengumumkan 23 perusahaan terkena sanksi adminsitratif dari 56 kasus yang diselidiki. Sebelumnya juga disebutkan ada 413 perusahaan yang disebut terlibat.
Sementara kepolisian menyebut 301 pelaku pembakaran yang terancam pidana. Perbedaan angka ini menurut Hendry harus segera diklarifikasi pemerintah. "Menurut kami angka-angka ini bisa menyesatkan publik kalau tidak segera diklarifikasi," ujar Hendry.
Hendry juga merekomendasikan agar segera dilakukan evaluasi atas Instruksi Presiden Nomor 11 tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Menurutnya, belum ada upaya evaluasi khususnya terhadap kinerja penanganan kebakaran hutan di pemerintah daerah.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti berkata bahwa instansinya hingga saat ini telah menangani 301 perkara kebakaran hutan yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengaku telah memberi sanksi kepada 23 perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran hutan pada musim kemarau tahun ini.
Ke-23 perusahaan itu diberi sanksi beragam. Dari jumlah tersebut, 16 perusahaan di antaranya langsung diberi sanksi pembekuan izin usaha.
Kerugian negara akibat musibah kebakaran hutan tahun ini ditaksir bernilai Rp200 triliun lebih. Taksiran tersebut diberikan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan.
(rdk)