Jakarta, CNN Indonesia -- Dua anggota majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Amir Fauzi dan Darmawan Ginting, dituntut empat tahun enam bulan penjara oleh jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka dinilai telah terbukti bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan suap.
"Supaya majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama empat tahun enam bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan," kata jaksa KPK Risma Ansyari saat membacakan tuntutannya di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (23/12).
Amir dan Darmawan juga dikenakan sanksi pidana denda sebesar Rp 200 juta subsidair selama enam bulan kurungan.
Jaksa menilai, hal yang memberatkan perbuatan kedua terdakwa adalah mereka selaku penegak hukum yang diberi kepercayaan sebagai hakim PTUN telah menciderai kepercayaan masyarakat Indonesia kepada lembaga peradilan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perbuatan kedua terdakwa juga dianggap telah mencoreng institusi peradilan di lingkungan Mahkamah Agung yang sedang giat melakukan upaya pemulihan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan, khususnya terhadap praktik suap-menyuap.
Sementara pertimbangan meringankan jaksa untuk kedua terdakwa adalah mereka telah berterus terang mengakui seluruh perbuatannya, belum pernah dihukum, dan masih memiliki tanggungan keluarga.
Amir dan Darmawan telah didakwa menerima hadiah berupa uang sejumlah US$5.000 dari Gubernur nonaktif Sumatera Utara Gatot Pujo Nogroho dan istrinya, Evy Susanti. Uang tersebut diserahkan Gatot dan Evy melalui pengacaranya, Otto Cornelis Kaligis dan Yagari Bhastara Guntur alias Gary.
Duit suap itu diserahkan dengan tujuan untuk mempengaruhi putusan atas permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumut dalam mengeluarkan panggilan permintaan keterangan anak buah Gatot, Ahmad Fauzi Lubis.
Upaya pemanggilan Kejaksaan terhadap anak buah Gatot berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi dana bantuan sosial (Bansos), bantuan daerah bawahan (DBD), bantuan operasional sekolah (BOS), dan tunggakan dana bagi hasil (DBH) dan penyertaan modal pada sejumlah BUMD pada Pemprov Sumut.
Dalam putusan terhadap penanganan perkara tersebut, majelis hakim yang diketuai oleh Tripeni Irianto Putro membatalkan surat panggilan Kejaksaan karena dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang.
Atas perbuatannya, Amir dan Darmawan didakwa melanggar Pasal 12 huruf a, atau b, atau c, atau Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 5 ayat 2, atau Pasal 11, UU Tipikor juncto 64 ayat 1 juncto Pasal 55 KUHP.
(sur)