Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir tahun 2015 benar-benar memiliki wajah baru. Selain baru saja memiliki lima pimpinan baru untuk periode 2015-2019, KPK juga harus kehilangan Johan Budi Sapto Pribowo yang selama ini sangat identik dengan lembaga antikorupsi itu.
Johan yang menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan KPK di akhir masa baktinya itu resmi mengundurkan diri kemarin, Selasa (22/12). Kali ini adalah pengunduran dirinya yang keempat setelah sebelumnya permintaan mundur selalu ditolak pimpinan.
Sebelum dilantik menjadi Plt Pimpinan KPK, 20 Februari 2015 di Istana Negara, Johan menjabat Juru Bicara KPK. Johan adalah Juru Bicara pertama lembaga antirasuah yang resmi berdiri tahun 2003.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai Jubir, pembawaan Johan tenang dan dingin. Sisi emosinya hampir tak pernah terlihat dalam menyampaikan konferensi pers penetapan tersangka maupun dalam menghadapi persoalan di KPK. Dia pun diganjar penghargaan Anugerah Perhumas Kategori Humas Pemerintah, setelah sebanyak 6.134 artikel sepanjang tahun 2014 menyebut nama Johan.
Bagaimana penuturan Johan Budi terhadap kariernya sebagai Jubir KPK? Apa alasan dia berkali-kali meminta mundur dari KPK? Berikut petikan wawancara khusus CNN Indonesia dengan Johan Budi beberapa waktu lalu:
Bagaimana cerita awal Anda bergabung di KPK?Saya masuk ke KPK memang belum tertata, sekitar tahun 2005. Tidak ada Biro Humas, apalagi Juru Bicara. Saat masuk pun saya menjadi Staf Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat. Setelah itu, saya menjalankan fungsi kehumasan sendirian. Lambat laun pegawai KPK bertambah, mulai merekrut saya ikut menyusun organisasi Biro Humas. Saat kepemimpinan KPK jilid pertama disampaikan usul untuk membuat Biro Humas dan Juru Bicara. Usulan diterima saat Pak Antasari Azhar menjadi Ketua KPK. Waktu itu KPK mulai mengalami semacam serangan dari orang yang tidak suka dengan KPK.
Momen serangan itu kemudian menjadi latar belakang keberadaan Juru Bicara KPK?Waktu itu kan memang tidak ada orang di luar pimpinan yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk publik, lewat media tentu saja. Untuk itu saya usul ada Juru Bicara. Periode pertama saya yang ditunjuk menjadi juru bicara. SK (Surat Ketetapan) ada dua, SK Juru Bicara dan SK Biro Humas. Kemudian masuk ke tata laksana organisasi, setelah itu baru di KPK benar-benar ada label juru bicara, selain Istana. Sekitar akhir tahun 2006.
Apa saja suka dan duka yang Anda rasakan selama menjadi Juru Bicara KPK?Saya merasa, seolah-olah semua dilakukan KPK itu dipersonifikasi ke saya. Padahal saya enggak menangani perkara, tetapi dibenci. Karena saya yang mengumumkan, lantas fitnah muncul. Tapi saya tidak peduli. Yang publik harus tahu, apa sih yang terjadi, apa yang dialami KPK. Ada konsekuensinya memang, jadi seolah-olah saya menjadi bemper. Jadi dimusuhi. Seolah-olah bukan KPK, tetapi Johan Budinya. Padahal saya bicara pasti berdasarkan perintah pimpinan. Itu dukanya.
Pengalaman lain adalah, saya sebenarnya tidak peduli kalau orang luar menyerang. Saya juga tidak merasa kalah untuk menghadapi mereka, tidak merasa lebih rendah meskipun saya hanya sekadar staf. Tapi yang menjadi persoalan adalah jika ada pernyataan pimpinan yang tidak sama. Itu yang bikin saya bingung. Bagaimana saya menyuarakan lembaga ini kalau ada perbedaan seperti itu. Hal itu yang menguras waktu dan pikiran.
Selebihnya, karena saya bekerja dengan hati, dengan senang, untuk menjadi lembaga yang punya kontribusi terhadap pemberantasan korupsi, jadi saya enjoy saja. Meskipun pagi sampai malam setiap hari, waktu untuk keluarga tersita.
Bagaimana hubungan Anda dengan pimpinan KPK?Kalau di KPK, salah satu pekerjaan Humas adalah memberi semacam
guidance kepada pimpinan. Jadi setiap ada hal-hal yang krusial, saya sampaikan bagaimana pandangan dari sisi media dan wartawan. Saya sampaikan juga, “Jangan ngomong soal ini, kalau konferensi pers kita highlight sampai sini saja, kalau ada pertanyaan yang cenderung menimbulkan pro dan kontra lebih baik bilang, nanti dicek dulu.” Hal-hal seperti itu saya sampaikan ke pimpinan. Tahu sendiri kan wartawan KPK itu pertanyaannya kritis dan menyudutkan. Pernah sampai ada tamu KPK yang bilang begini setelah konferensi pers di KPK, “Kok di KPK keras banget ya pertanyaannya? Kok tajem banget?” Saya jawab waktu itu, “Bapak baru satu jam di sini sudah merasa seperti itu. Saya setiap hari Pak di sini, menghadapi wartawan ini,” (tertawa).
Anda beberapa kali mengajukan mengundurkan diri, mulai dari mundur dari KPK sampai mundur sebagai Juru Bicara, apa yang sebenarnya terjadi?
Beberapa kali, antara pimpinan KPK pernyataannya tidak sama. Kalau seperti itu, saya bingung mana yang harus saya ikuti karena saya harus menyuarakan lembaga, tidak bisa saya mewakili satu atau dua pimpinan. Yang terjadi adalah saya tidak peduli kalau pernyataan lembaga itu harus membantah pernyataan salah satu pimpinan.
Contoh yang membuat saya betul-betul pusing saat itu adalah ketika ada satu pimpinan bilang kudeta, pimpinan KPK pecah. Saya harus mewakili lembaga, seperti apa lembaga di depan publik. Karena itu saya memilih menjelaskan enggak ada kudeta. Bahkan saya pernah dilaporkan ke Mabes Polri dengan pencemaran nama baik terkait penyitaan yang dilakukan KPK. Saya dilaporkan oleh sebuah kelompok. Tetapi pada intinya, persoalan di internal itu yang memberatkan saya. Tetapi jika KPK diserang dari luar, saya siap menjawab dan menghadapi.
Terkait penetapan tersangka atas tiga pimpinan KPK periode 2007-2011, apakah itu juga termasuk serangan dari luar yang bisa Anda atasi?
Itu faktor dari luar dan memang besar. Kamu bisa bayangkan, Pak Antasari menjadi tersangka, enggak lama kemudian, Pak Chandra Hamzah dan Pak Bibit Samad juga menjadi tersangka. Apalagi mereka sempat ditahan juga. Sehingga lembaga ini waktu itu tinggal menyisakan dua pimpinan yaitu Pak Jasin dan Pak Haryono Umar. Saat itu saya menjadi Ketua Wadah Pegawai. Saya ikut menemui Tim 5 yang diberi mandat mengurusi hal ini. Lewat Wadah Pegawai KPK juga kami membuat petisi kepada Presiden. Buat saya, saya siap saja menghadapi hal seperti itu. Tetapi kalau masalah internal, itu yang paling memberatkan saya.
Anda pernah merangkap jabatan ketika diminta menjadi Deputi Pencegahan KPK tetapi tetap bertugas sebagai Jubir. Bagaimana Anda menjalaninya?
Maka itu saya minta mundur. Saya minta mundur pertama kali itu memang minta mundur dari lembaga, dari KPK. Yang kedua, saya minta mundur sebagai Juru Bicara dan Kepala Biro Humas KPK. Setelah itu saya menjadi Deputi Pencegahan, sementara menjadi Jubir juga tetap. Jadi saya minta mundur sebagai Jubir. Menjadi Jubir itu bukan pekerjaan sampingan lho. Menjadi Deputi Pencegahan juga butuh waktu, tenaga, dan pikiran.
Apalagi menjadi Jubir, waktunya hampir 24 jam. Teman-teman wartawan sering telepon saya bahkan sampai malam, tengah malam pun sering. Jadi enggak bisa jadi sampingan. Pekerjaan Deputi Pencegahan dengan Jubir itu beda. Kalau saya terus rangkap jabatan, jadinya saya enggak profesional. Pekerjaan saya di Deputi Pencegahan juga sebenarnya banyak dan semakin banyak. Butuh konsentrasi untuk menyelesaikan itu. Selain itu, yang terpenting juga adalah bahwa saya sudah terlalu lama menjadi Jubir. Jadi sudah enggak fresh lagi, enggak ada ide-ide yang brilian, apalagi persoalan KPK dan pemberantasan korupsi ke depan semakin kompleks. Kita perlu orang muda yang punya pemikiran yang lebih andal dan lebih mampu dibanding saya. Saya yakin banyak orang seperti itu.
Siapa orang pertama yang Anda ceritakan tentang niat untuk mengundurkan diri?
Ibu saya. Saya memang liburannya itu menjenguk ibu saya di Mojokerto karena Bapak saya juga sudah lama enggak ada, saat saya selesai kuliah. Kalau saya ada kesempatan cuti saya minta. Saya sering lho minta cuti tapi enggak dikasih. Minta cuti dua hari juga sering susah. Jadi saya jarang sekali cuti.
Dari mana Anda belajar menjadi Jubir?
Saya punya latar belakang wartawan dan komunikasi. Pengalaman menjadi wartawan saat mewawancarai narasumber membuat saya tahu kebutuhan informasi bagi media massa itu seperti apa. Jadi saya learning by doing. Yang penting visi saya, KPK tidak boleh menerapkan prinsip yang, mohon maaf, memberikan amplop atau uang kepada wartawan. Jadi KPK membangun hubungan dengan media menggunakan prinsip kesetaraan. Media itu posisinya sama dengan KPK, tidak lebih tinggi dan tidak juga lebih rendah. Prinsip kedua, KPK transparan dengan menyatakan apa yang sebenarnya terjadi tanpa harus ditutupi. Tentu tidak semua harus dibuka dalam konteks penanganan perkara.
Tapi baik saya maupun pimpinan saya tekankan untuk menjawab hati-hati. Karena pertanyaannya berkembang terus, jadi enggak bisa menjawab asal-asalan. Jadi saya juga harus banyak tahu, harus menyampaikan jawaban yang tidak akan timbulkan pertanyaan lain. Saya juga menjaga dan ingin memastikan agar pimpinan tidak membuat pernyataan yang blunder. Karena kalau sudah seperti itu, harus siap dibombardir pertanyaan sama teman-teman wartawan.