Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengungkapkan tidak semua aset bisa dirampas dalam perkara pencucian uang. Bekas Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini mengatakan perlunya alasan konkret perampasan tersebut.
Pernyataan tersebut merespons kritik dari sejumlah aktivis antikorupsi yang menilai Alexander kerap menolak kewenangan penuntutan cuci uang oleh jaksa KPK saat dirinya menjadi majelis hakim. Misalnya pada kasus pencucian uang yang dijeratkan komisi antirasuah pada bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Saat menyidang Anas, Alexander beda pendapat dengan empat hakim lainnya. Menurut Alex, KPK tak berwenang menuntut pencucian uang lantaran aset yang dimiliki Anas tak terbukti berkaitan dengan harta Anas dari hasil korupsi pembangunan gedung sarana dan prasarana olahraga di Hambalang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena saya seorang hakim saya harus lihat nurani dan pikiran yang jernih sesuai perundangan, misalnya perampasan aset yang diperoleh jauh sebelum terdkawa melakukan kejahatan atau
predicate crime bagi saya tidak bisa aset itu ikut dirampas," kata Alexander saat ditemui di Gedung KPK, Jakarta, Senin (21/12).
Perampasan aset, menurutnya, juga tak bisa diterapkan pada harta yang diperoleh saat UU Tindak Pidana Penucian Uang belum berlaku. Kendati kerap beda pendapat, menurut Alex, bukan berarti dirinya menolak kewenangan KPK menuntut penucian uang dengan merampas aset.
"Saya tidak terus menolak perampasan aset. Hanya item tertentu dan periode yang dilakukan terdakwa. Ketika harta diperoleh sebelum tindak pidana berarti wajar dong dikembalikan kepada terdakwa, bagaimana di KPK, kita lain," katanya.
Sebelumnya, Peneliti Hukum Pidana Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Miko Susanto Ginting mengkritik Alexander yang dinilai tak konsisten ketika memutus suatu kasus. Pemahaman Alexander aoal kewenangan penuntutan pencucian uang oleh KPK pun dinilai masih lemah. Padahal, Alexander merupakan pimpinan komisi antirasuah terpilih untuk periode lima tahun mendatang.
"Kami menemukan ada beberapa putusan yang dia tidak konsisten, termasuk pemaknaan penuntutan pencucian uang. Di kasus Atut (Ratu Atut Choisiyah, gubernur nonaktif Banten), dia dissenting membantah fakta tanpa didasari argumentasi yang relevan. Tapi itu tidak terjadi di kasus Wa Ode Nurhayati," kata Miko.
(obs)