Anda beberapa kali mengajukan mengundurkan diri, mulai dari mundur dari KPK sampai mundur sebagai Juru Bicara, apa yang sebenarnya terjadi?
Beberapa kali, antara pimpinan KPK pernyataannya tidak sama. Kalau seperti itu, saya bingung mana yang harus saya ikuti karena saya harus menyuarakan lembaga, tidak bisa saya mewakili satu atau dua pimpinan. Yang terjadi adalah saya tidak peduli kalau pernyataan lembaga itu harus membantah pernyataan salah satu pimpinan.
Contoh yang membuat saya betul-betul pusing saat itu adalah ketika ada satu pimpinan bilang kudeta, pimpinan KPK pecah. Saya harus mewakili lembaga, seperti apa lembaga di depan publik. Karena itu saya memilih menjelaskan enggak ada kudeta. Bahkan saya pernah dilaporkan ke Mabes Polri dengan pencemaran nama baik terkait penyitaan yang dilakukan KPK. Saya dilaporkan oleh sebuah kelompok. Tetapi pada intinya, persoalan di internal itu yang memberatkan saya. Tetapi jika KPK diserang dari luar, saya siap menjawab dan menghadapi.
Terkait penetapan tersangka atas tiga pimpinan KPK periode 2007-2011, apakah itu juga termasuk serangan dari luar yang bisa Anda atasi?
Itu faktor dari luar dan memang besar. Kamu bisa bayangkan, Pak Antasari menjadi tersangka, enggak lama kemudian, Pak Chandra Hamzah dan Pak Bibit Samad juga menjadi tersangka. Apalagi mereka sempat ditahan juga. Sehingga lembaga ini waktu itu tinggal menyisakan dua pimpinan yaitu Pak Jasin dan Pak Haryono Umar. Saat itu saya menjadi Ketua Wadah Pegawai. Saya ikut menemui Tim 5 yang diberi mandat mengurusi hal ini. Lewat Wadah Pegawai KPK juga kami membuat petisi kepada Presiden. Buat saya, saya siap saja menghadapi hal seperti itu. Tetapi kalau masalah internal, itu yang paling memberatkan saya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anda pernah merangkap jabatan ketika diminta menjadi Deputi Pencegahan KPK tetapi tetap bertugas sebagai Jubir. Bagaimana Anda menjalaninya?Maka itu saya minta mundur. Saya minta mundur pertama kali itu memang minta mundur dari lembaga, dari KPK. Yang kedua, saya minta mundur sebagai Juru Bicara dan Kepala Biro Humas KPK. Setelah itu saya menjadi Deputi Pencegahan, sementara menjadi Jubir juga tetap. Jadi saya minta mundur sebagai Jubir. Menjadi Jubir itu bukan pekerjaan sampingan lho. Menjadi Deputi Pencegahan juga butuh waktu, tenaga, dan pikiran.
Apalagi menjadi Jubir, waktunya hampir 24 jam. Teman-teman wartawan sering telepon saya bahkan sampai malam, tengah malam pun sering. Jadi enggak bisa jadi sampingan. Pekerjaan Deputi Pencegahan dengan Jubir itu beda. Kalau saya terus rangkap jabatan, jadinya saya enggak profesional. Pekerjaan saya di Deputi Pencegahan juga sebenarnya banyak dan semakin banyak. Butuh konsentrasi untuk menyelesaikan itu. Selain itu, yang terpenting juga adalah bahwa saya sudah terlalu lama menjadi Jubir. Jadi sudah enggak
fresh lagi, enggak ada ide-ide yang brilian, apalagi persoalan KPK dan pemberantasan korupsi ke depan semakin kompleks. Kita perlu orang muda yang punya pemikiran yang lebih andal dan lebih mampu dibanding saya. Saya yakin banyak orang seperti itu.
Siapa orang pertama yang Anda ceritakan tentang niat untuk mengundurkan diri?Ibu saya. Saya memang liburannya itu menjenguk ibu saya di Mojokerto karena Bapak saya juga sudah lama enggak ada, saat saya selesai kuliah. Kalau saya ada kesempatan cuti saya minta. Saya sering lho minta cuti tapi enggak dikasih. Minta cuti dua hari juga sering susah. Jadi saya jarang sekali cuti.
Dari mana Anda belajar menjadi Jubir?Saya punya latar belakang wartawan dan komunikasi. Pengalaman menjadi wartawan saat mewawancarai narasumber membuat saya tahu kebutuhan informasi bagi media massa itu seperti apa. Jadi saya
learning by doing. Yang penting visi saya, KPK tidak boleh menerapkan prinsip yang, mohon maaf, memberikan amplop atau uang kepada wartawan. Jadi KPK membangun hubungan dengan media menggunakan prinsip kesetaraan. Media itu posisinya sama dengan KPK, tidak lebih tinggi dan tidak juga lebih rendah. Prinsip kedua, KPK transparan dengan menyatakan apa yang sebenarnya terjadi tanpa harus ditutupi. Tentu tidak semua harus dibuka dalam konteks penanganan perkara.
Tapi baik saya maupun pimpinan saya tekankan untuk menjawab hati-hati. Karena pertanyaannya berkembang terus, jadi enggak bisa menjawab asal-asalan. Jadi saya juga harus banyak tahu, harus menyampaikan jawaban yang tidak akan timbulkan pertanyaan lain. Saya juga menjaga dan ingin memastikan agar pimpinan tidak membuat pernyataan yang blunder. Karena kalau sudah seperti itu, harus siap dibombardir pertanyaan sama teman-teman wartawan.
(rdk)