Jakarta, CNN Indonesia -- Kuasa hukum Yayasan Supersemar kembali mangkir dari panggilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menjalani sidang
aanmaning penentuan eksekusi perkara yang menjerat yayasan tersebut, Rabu pagi (6/1). Menurut Humas PN Jakarta Selatan Made Sutrisna, kesibukan kuasa hukum Supersemar menjadi alasan ketidakhadiran mereka dalam panggilan kedua yang dilayangkan PN Jakarta Selatan.
Menanggapi hal tersebut, PN Jakarta Selatan memutuskan untuk menunda pelaksanaan sidang
aanmaning perkara Supersemar hingga 20 Januari mendatang.
"Nanti 20 Januari, hadir atau tidak pihak kuasa termohon, dianggap
aanmaning sudah terselenggara. Artinya, tidak ada lagi proses
aanmaning sehingga akan dilaksanakanlah proses eksekusi paksa," kata Made di PN Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kuasa hukum Supersemar sebenarnya meminta penundaan sidang
aanmaning dilakukan hingga 10 Februari mendatang. Namun permintaan mereka ditolak Ketua PN Jakarta Selatan.
Eksekusi perkara Supersemar akan dilakukan setelah 20 Januari. Menurut Made, eksekusi akan dilakukan setelah melewati proses yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.
"Itu (eksekusi) tidak otomatis karena PN Jakarta Selatan sebagai eksekutor sepenuhnya tergantung kepada keaktifan pihak pemohon (Jaksa Pengacara Negara). Dalam hal ini, apabila (jumlah harta) tidak mencapai Rp4,4 triliun secara seketika maka akan beralih (eksekusi) kepada aset-aset yang dimiliki," ujarnya.
Made mengaku belum menerima laporan penelusuran aset milik Supersemar dari Kejaksaan Agung hingga saat ini. Padahal lembaga adhyaksa diketahui telah melakukan penelusuran aset milik yayasan pendirian Presiden kedua Soeharto itu.
"Kisaran angkanya kami baru tahu nomor-nomor (rekening) saja dengan nama perusahaan," ujar Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Bambang Setyo Wahyudi, 15 Desember lalu.
Seluk-Beluk Perkara SupersemarSidang
aanmaning digelar setelah Supersemar dinyatakan kalah dalam pengadilan melawan negara. Yayasan yang didirikan Presiden kedua Soeharto itu dianggap bersalah karena telah menggunakan dana beasiswa untuk keperluan yang tidak berkaitan dengan pendidikan pada periode 1989-1993.
Berdasarkan salinan putusan Mahkamah Agung, Yayasan Supersemar diputus bersalah karena sempat menyalurkan dana ke sebuah bank dan tujuh perusahaan. Bank yang sempat menerima dana dari Yayasan Supersemar adalah Bank Duta.
Pada Putusan MA Nomor 2896 K/Pdt/2009 disebutkan, Bank Duta sempat menerima uang sejumlah US$420 juta. Yayasan Supersemar juga tercatat pernah memberi dana sebesar Rp13 miliar kepada PT Sempati Air sebuah maskapai yang kini sudah bangkrut.
Selain itu, yayasan juga sempat menyalurkan dana sebanyak Rp150 miliar ke PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti.
Masih dalam putusan yang sama, MA mencatat Yayasan Supersemar pernah memberi dana Rp12 miliar kepada PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri. Terakhir, MA menyebut Yayasan Supersemar bersalah karena pernah memberi uang sejumlah Rp10 miliar ke Kelompok Usaha Kosgoro pada akhir 1993.
Karena perbuatan itu Yayasan Supersemar divonis bersalah oleh PN Jakarta Selatan pada 28 Maret 2008. Putusan PN Jakarta Selatan dikuatkan dengan vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta di tingkat banding pada 19 Februari 2009.
Keberatan dengan putusan itu, Supersemar mengajukan kasasi ke MA pada Oktober 2010. Namun kasasi Yayasan Supersemar tidak diterima sepenuhnya oleh MA. MA menerima sebagian permohonan pemerintah. Namun jumlah nominal denda yang harus dibayar Yayasan Supersemar salah ketik dalam putusan tersebut.
Dalam putusan, tertulis denda yang harus dibayar Yayasan Supersemar adalah 75 persen dari Rp185 juta. Padahal Yayasan itu seharusnya membayar 75 persen dari Rp185 miliar, atau Rp 139 miliar kepada negara.
Atas kasasi itu, Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) pada September 2013, yang juga diikuti PK Yayasan Supersemar. MA akhirnya mengabulkan PK negara dan menolak PK Supersemar sehingga mereka mesti membayar denda sebesar Rp4,4 triliun lebih pada tahun ini.
(rdk)