Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Luhut Binsar Panjaitan membahas kerja sama peningkatan penerimaan negara dari sekor pajak dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Luhut menegaskan nantinya kerja sama ini dapat mengejar para pengemplang pajak yang ogah memenuhi kewajibannya.
"Kalau tidak (bayar pajak), kamu nanti bisa dikejar oleh KPK atau dikejar oleh polisi atau kejaksaan," ujar Luhut di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (7/1).
Para pengemplang pajak dinilai kerap melakukan modusnya untuk menutupi harta dengan mencuci uang. Luhut sebagai Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, meminta komisi antirasuah untuk gencar mengusut pidana pencucian uang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harapannya KPK banyak mengusut pencucian uang karena angkanya besar, daripada hanya mengusut Rp200 juta, Rp500 juta, pencucian uang angkanya bisa triliunan. Kami coba supaya lebih banyak sehingga dengan demikian
revenue negara dari pajak bisa meningkat," katanya.
Kemudahan Bayar Pajak
Luhut berharap para terduga pelaku pengemplang pajak mau membayar ke negara sebelum aliran transaksinya yang mencurigakan diendus oleh penegak hukum. Terlebih, Luhut juga mengatakan kemudahan pembayaran pajak telah disediakan oleh pemerintah melalui Pengampunan Pajak (
Tax Amnesty).
"Harapannya nanti bisa bersih ke depannya ini. Yang belum bayar pajak kami dorong supaya membayar pajak dan kemudahan-kemudahan membayar pajak itu sudah disediakan," kata Luhut.
Dalam draf RUU Pengampunan Nasional yang diperoleh CNN Indonesia disebutkan pemerintah menjanjikan pengampunan bagi setiap individu dan badan usaha, berupa penghapusan sanksi administrasi perpajakan, sanksi pidana pajak, hingga sanksi pidana umum.
Namun ada kasus penyelewengan uang negara yang tak bisa diampuni seperti kasus korupsi, terorisme, narkotika, dan perdagangan manusia.
Syarat pengampunan adalah uang tersebut harus dikembalikan sepenuhnya kepada negara. Setiap pelaku tindak pidana harus membayar uang tebusan dengan tarif berjenjang yang naik secara periodik, mulai dari 3 persen hingga 8 persen dari total harta yang dilaporkan.
Salah satu klausul dalam draf beleid tersebut menjelaskan, pengampunan nasional diberikan kepada setiap warga negara yang melaporkan seluruh hartanya, baik yang berada di dalam maupun di luar negeri, dalam Surat Permohonan Pengampunan Nasional (SPPN).
Untuk masa pengampunan dan pelaporan harta kekayaan selama periode Oktober-Desember 2015, pemerintah akan mengenakan tarif uang tebusan sebesar 3 persen dari total harta yang dilaporkan. Tarif uang tebusan akan dinaikkan menjadi 5 persen dari total harta bagi warga negara yang meminta pengampunan nasional dan melaporkan harta kekayaannya pada Januari-Juni 2016.
Rencananya, tarif uang tebusan akan dikenakan sebesar 8 persen dari total harta untuk masa pengampunan dan pelaporan harta kekayaan pada paruh kedua Juli-Desember 2016.
(rdk)