Jakarta, CNN Indonesia -- Empat jilid operasi Camar Maleo tidak berhasil menangkap pimpinan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur, Santoso alias Abu Wardah. Polri selalu beralasan sulit menjangkau markas kelompok yang berada di pegunungan itu.
Bagaimana sesungguhnya kondisi di sana?
Brigadir Didimus, seorang anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri yang pernah bertugas memburu Santoso selama enam bulan sejak Juni 2010, menceritakan pengalamannya kepada CNN Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di Gunung Biru, kami susah bergerak. Di sana, selain hutan-hutan juga banyak tebing. Salah masuk sedikit, habislah kita," kata pria berdarah Papua itu.
Tim pemburu mesti bergerak sembunyi-sembunyi untuk menjangkau markas para teroris. Padahal sulit bagi mereka untuk mencari jalan di kegelapan. Salah langkah bisa mengakibatkan kekalahan sebelum berperang, entah itu sebatas cedera ringan atau kecelakaan serius seperti jatuh ke jurang.
Perlu kehati-hatian dan pengetahuan lengkap mengenai kondisi di lapangan. "Belum lagi, mereka (teroris) lebih tahu keadaan di sana. Itu kan markas mereka. Mereka sudah kenal seluk-beluknya seperti apa," kata Didimus.
Dengan medan yang sulit, dari perkampungan hingga ke titik pos yang ditentukan di pegunungan, tim mesti berjalan kaki selama empat hari di hutan. Dari titik pos itu pun, markas teroris tak bisa begitu saja didekati.
Di samping itu, karena Densus mesti bergerak dengan cepat, persediaan makanan terpaksa dibatasi. Di hutan, kemampuan bertahan hidup dengan memanfaatkan apa saja yang ada menjadi penting.
"Mau tembak binatang, takut bunyi senjatanya memancing teroris. Jadi kami buat ranjau pakai tali untuk berburu," kata Didimus.
Maka jika terpaksa, tikus sekali pun jadi santapan. "Karena lapar jadi enak saja, dibakar tikusnya," ujar Didimus.
Sebelum bergerak ke pegunungan, petugas mesti lebih dulu mengumpulkan informasi tentang keberadaan markas para teroris. Jika itu tak dilakukan, setiap langkah di hutan bisa jadi membawa mereka lebih dekat kepada ajal.
Informasi dikumpulkan dengan berbagai cara. Didimus misal berbaur dengan warga di perkampungan kaki gunung untuk menggali pengetahuan soal para teroris.
"Saya nyamar jadi mahasiswa, bawa tas isi buku-buku. Penampilan sih sudah persis mahasiswa, tapi tetap saja sulit membongkar informasi di sana," kata Didimus.
Ternyata, kelompok teroris kerap datang ke perkampungan untuk meminta bahan pokok. Mereka sekaligus menebar ancaman kepada warga desa agar tutup mulut soal keberadaan mereka.
"Waktu saya di sana, ada tiga petani dibunuh. Dibilang salah ngomong," ujar Didimus.
Nama Santoso menjadi momok bagi masyarakat kaki Gunung Biru. Meski Didimus sudah mengaku sebagai mahasiswa yang sedang melakukan penelitian tentang kehidupan setempat, ia tidak mendapatkan banyak informasi.
Pada saat yang sama, Didimus mesti menjaga penyamaran dan tidak bisa secara gamblang bertanya soal teroris. Informasi hanya bisa dia dapatkan dengan mencuri dengar ketika masyarakat berbincang soal sosok yang mengancam mereka.
Selain itu, watak masyarakat di perkampungan memang agak keras. Meski ramah dan bisa menerima secara kekeluargaan orang lain, rahasia mereka sangat sulit dibuka.
Mata pencaharian masyarakat di sana bergantung kepada hasil alam, baik bercocok tanam atau mengumpulkan hasil hutan. Ketika Didimus mengikuti warga masuk ke dalam hutan, barulah sedikit-sedikit gambaran untuk mengejar para teroris mulai terbentuk.
Perburuan berbahayaSuatu ketika, seorang teroris bernama Taufik mendatangi perkampungan. Didimus menyebut dia sebagai salah satu petinggi kelompok teroris.
Taufik hanya sesekali menampakkan diri. Dia pun bisa menghilang tanpa jejak bak siluman. "Macam binatang liar masuk kampung. Sebentar ada, sebentar hilang lagi."
Meski tidak sempat berbicara banyak dengan Taufik, Didimus sempat mengenalnya. Setelah menyelidiki sosok itu selama empat bulan, dia akhirnya mendapatkan titik koordinat di mana si teroris bermarkas.
Berbekal koordinat itu, Didimus kembali ke kota untuk memberikan informasi yang ia dapatkan ke rekan-rekannya. Dari situ, operasi penyergapan sosok teroris "galak" yang kerap menggunakan cadar itu dimulai.
Perjalanan empat hari di medan berbahaya menuju titik pos, ditempuh Kompi Matoa I. Berbekal makanan kaleng, biskuit, dan air yang seadanya, kehidupan di hutan menjadi mimpi buruk bag para pemburu teroris.
"Siang-malam tidak tidur. Kehidupan di pos itu sakit, menderita. Mau makan, bakar kaleng, rokok isap gantian-gantian, senjata harus lengket terus di badan," kata dia.
Walau sudah direncanakan dengan matang, pos Didimus tidak luput dari serangan. Berondongan peluru anggota teroris mendadak menembus perkemahan.
Kemah-kemah berlubang. Didimus dan rekan-rekannya tiarap sambil membalas tembakan.
Selama perjalanan menuju markas teroris, baku tembak beberapa kali terjadi. Setidaknya enam orang polisi tewas disergap.
Sesampainya di markas teroris, terlihat Taufik sedang duduk di antara kemah-kemah. Markas teroris berada di tengah hutan belantara di pegunungan. Pohon-pohon jadi tempat para teroris bersembunyi.
Tim kemudian mengepung tempat tersebut dan terus mengintainya.
Jika luput sedikit, kata Didimus, Taufik bisa menghilang tanpa jejak. "Saya sudah atur strategi. Satu-satu anggota tim hambat pergerakan. Lewat waktu 20 menit saja dia bisa hilang, karena itu 10 menit harus sudah selesai."
Taufik akhirnya tertembak, tapi masih bisa berlari menuju hutan. Namun akhirnya Tim Densus berhasil melumpuhkan dia.
Didimus menduga Taufik punya kesaktian hingga masih kuat berlari meski sudah diberondong peluru. Dari tubuh Taufik, ditemukan ari-ari kucing dan potongan kain kafan.
Sialnya, ternyata Santoso tidak ada di markas tersebut.
"Santoso tidak pernah tampak. Dia panglima yang tugasnya cuma terima laporan. Tapi kami dengar, dia lebih sakti dari Taufik," kata Didimus.
Sampai saat ini, ia tak pernah bertemu Santoso.
(pit/agk)