Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Kepolisian Jenderal Badrodin Haiti menghendaki Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme direvisi. Teror di Thamrin dinilai bisa lebih diantisipasi jika aparat penegak hukum diberi kewenangan lebih maksimal dalam pencegahan dan penindakan aksi teror.
Badrodin mengatakan dalam praktik di lapangan selama ini, polisi terbatas menindak mereka yang ditemukan berkegiatan dengan kelompok-kelompok radikal.
"Kami bisa melakukan deteksi tapi tidak bisa melakukan penindakan sebelum ada tindak pidana yang dilakukan. Itu kelemahan dari regulasi kita," kata Badrodin di Mabes Polri, Jakarta, Sabtu (16/1).
Dalam arti lain, katanya, kalaupun polisi saat ini sudah mengantongi nama-nama mereka yang pulang setelah bergabung dengan ISIS di Suriah, aparat tidak bisa membuktikan tindak pidana yang mereka lakukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Badrodin kemudian berharap melalui perbaikan regulasi yang ada saat ini, pihak kepolisian maupun aparat penegak hukum lainnya bisa melakukan pencegahan satu langkah lebih maju sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi.
Meski demikian, Badrodin menegaskan bukan berarti pihaknya tidak melakukan upaya preventif apapun untuk mencegah teror terjadi di Indonesia.
Dia menyatakan pihak kepolisian saat ini sudah mengirimkan permohonan kepada pihak imigrasi di Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan pencekalan terhadap sejumlah Warga Negara Indonesia yang berada di Suriah.
Pencekalan itu dilakukan terhadap mereka yang terdeteksi ikut mengangkat senjata di Suriah, atau istilah lainnya terlibat dalam pejuan teroris luar negeri (
foreign terrorist fighter). Berdasarkan catatan kepolisian, saat ini sedikitnya ada 308 WNI yang telah berangkat Suriah.
"Tapi dari 308 itu tidak semua bisa kami deteksi ikut mengangkat senjata. Inilah yang menjadi kendala kepolisian," kata Badrodin.
Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso sebelumnya menyatakan, Polri selama ini kesulitan mencegah aksi teror karena pembatasan yang diatur UU Terorisme. Oleh karena itu, Sutiyoso mendukung rencana pemerintah yang berniat merevisi beleid regulasi tersebut.
Sutoyoso mencontohkan, sebelum serangan di kawasan MH Thamrin, Kamis (14/1) kemarin, badan telik sandi pernah menginformasikan kepada kepolisian tentang pelatihan militer yang digelar kelompok terduga teroris.
Namun, informasi intelijen tersebut tidak berakhir dengan penangkapan dan penahanan.
"BIN memantau ada orang-orang garis keras melakukan pelatihan. Alat yang digunakan kelompok itu kayu, sehingga alat bukti kepolisian untuk menangkap mereka lemah," ujar Sutiyoso di Jakarta, Jumat (15/1).
(utd)