Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi disebut tak maksimal dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang diselenggarakan akhir 2015.
"Tidak berlebihan kalau banyak pemohon yang menyatakan kekecewaan dan menganggap MK malas bekerja," kata Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani.
Hingga 22 Januari 2016, kata Ismail, MK telah membacakan putusan terhadap 89 permohonan dari total 147 perkara yang dimohonkan. Hingga 26 Januari mendatang, MK masih akan membacakan putusan terhadap 58 perkara sisanya.
Dari 89 putusan tersebut sebagian besar dinyatakan tidak bisa diterima. Hanya satu yang dilanjutkan ke pemeriksaan pokok perkara, yakni untuk daerah Halmahera Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara dua perkara lainnya ditolak karena karena obyek yang disengketakan terkait pelanggaran administrasi sebelum Pilkada sehingga di luar kewenangan MK; 34 permohonan karena melewati batas waktu 3 x 24 jam pengajuan permohonan setelah KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan.
Sebanyak 47 perkara lainnya ditolak karena tidak memiliki kedudukan hukum. Pemohon disebut tidak punya kedudukan hukum karena melampaui selisih maksimal yang ditentukan oleh Pasal 6 Peraturan Mahkamah Konstitusi 1 dan 5 Tahun 2015 atas amanat Pasal 158 Undang-Undang 8 tahun 2015.
Lima permohonan lainnya berupa ketetapan untuk permohonan yang ditarik kembali oleh pemohon, yakni daerah Bulukumba, Kotabaru, Pesisir Barat, Toba Samosir dan Boven Digoel.
"Bahkan, dari 58 permohonan yang belum dibacakan putusannya, kemungkinan sembilan daerah yaitu Pelalawan, Wakatobi, Rokan Hulu, Kapuas Hulu, Gorontalo, Buton Utara, Musi Rawas, Pekalongan, Manggarai akan ditolak karena tidak memiliki
legal standing," kata Ismail.
"Dan tiga daerah lainnya akan ditolak karena kedaluwarsa yaitu Wonosobo, Pekalongan dan Pahuwato," ujarnya.
Ismail mempermasalahkan pasal-pasal yang disebutkan sebelumnya, dan menilainya sebagai pasal yang menutup mata MK untuk memeriksa kebenaran materiil dalam sebuah proses pilkada.
"Bahkan dengan argumentasi yang sesat, dengan merujuk pada Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 yang memutus bahwa Pemilihan Kepala Daerah bukan termasuk rezim pemilu yang secara yuridis formal diatur dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945, MK menganggap dirinya tidak lagi memiliki keleluasaan dalam mengadili perkara pilkada," kata Ismail.
(meg)