Jakarta, CNN Indonesia -- Akademisi mengkritik pernyataan yang dilontarkan Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi M. Nasir soal kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Sri Purwatiningsih, menyampaikan pernyataan Menristek dan Dikti mencerminkan penerimaan yang rendah terhadap keberadaan kelompok LGBT.
"Padahal, studi-studi yang pernah dilakukan PSKK UGM mencatat hal yang sama tentang LGBT dan akhirnya memunculkan homofobia," kata Sri berdasarkan pernyataan yang diterima CNN Indonesia, Rabu (27/1).
Sri menambahkan dalam studi penelitian, beberapa responden menyampaikan ketidaknyamanan dengan keberadaan LGBT di sekitar mereka. Kelompok ini, kata Sri, dinilai membutuhkan ceramah atau siraman rohani sehingga bisa 'sembuh' atau 'kembali ke jalan yang benar'. Tak hanya itu, orientasi seksual seperti LGBT, ujarnya, juga dinilai sebagai sesuatu yang salah karena melanggar norma agama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ironisnya lagi, anggapan pelanggaran terhadap norma agama sering menjadi legitimasi, khususnya kepada kelompok LGBT dan mereka yang perhatian pada isu itu, untuk melakukan kekerasan," ujar Sri.
Sri menjelaskan di beberapa tempat, negara dan masyarakat masih memaksakan norma tentang gender dan orientasi seksual pada individu melalui adat, hukum, agama bahkan kekerasan untuk mengontrol bagaimana seseorang menjalani hubungan personal dan bagaimana mengidentifikasi diri sendiri.
"Tak terkecuali di Indonesia, pemerintah juga masih melegitimasi praktik diskriminasi terhadap kelompok LGBT," kata Sri.
Sri kemudian merujuk ke dalam aturan Kementerian Sosial Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial yang mengklasifikasikan lesbian, gay, dan waria sebagai kelompok yang memiliki gangguan keberfungsian sosial.
Aturan tersebut, ujarnya, sangat berdampak terutama pada waria di mana banyak tempat menolak mereka untuk bekerja.
"Jikapun bekerja, sebagian bekerja dengan tingkat pendapatan yang rendah atau masuk ke dalam perekonomian tersembunyi seperti menjadi PSK," ujarnya.
Oleh karena itu, Sri berpendapat, pemerintah semestinya memberikan perlindungan kepada kelompok LGBT. Peraturan yang cenderung diskriminatif terhadap kelompok tertentu semestinya direvisi untuk memberikan perlindungan, ujarnya.
"Selain itu, pelarangan terhadap kelompok LGBT tentu tidak sejalan dengan prinsip HAM karena merupakan tindakan diskriminatif, " katanya.
Sri menjelaskan sebenarnya salah satu provinsi di Indonesia telah berupaya menerapkan deklarasi kesetaraan dalam hak dan martabat manusia. Adalah SOGI atau sexual orientation and gender identity yang dideklarasikan oleh Yogyakarta pada 2007 menegaskan bahwa setiap manusia terlahir bebas dan setara dalam hak dan martabatnya.
“Diskriminasi atas kelompok LGBT tidak hanya terjadi saat ini saja, melainkan terus berlangsung. Namun, teman-teman LGBT maupun lembaga-lembaga yang perhatian terhadap isu-isu ini tetap berjuang demi menghapus bentuk-bentuk diskriminasi,” kata Sri.
Sebelumnya, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir menyatakan pelarangannya terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) masuk kampus perlu dipahami secara objektif.
Menurut Nasir, pelarangan yang sempat dia lontarkan bukan berarti melarang segala bentuk kegiatan terkait LGBT.
Bagaimanapun, Nasir tetap berpandangan bahwa kampus terbuka lebar untuk segala kajian dan edukasi yang bertujuan untuk membangun kerangka keilmuan, termasuk kajian mengenai LGBT.
"Larangan saya terhadap LGBT masuk kampus apabila mereka melakukan tindakan yang kurang terpuji seperti bercinta atau pamer kemesraan di kampus," kata Nasir dalam akun Twitter resmi miliknya, Senin (25/1).
Nasir menyatakan keberadaan kelompok LGBT di Indonesia perlu dikaji secara mendasar oleh para akdemisi, mengingat Indonesia merupakan negara 'berketuhanan' dan menjunjung tinggi 'kemanusiaan' yang adil dan 'beradab'.
Dalam arti lain, kata Nasir, kaum LGBT sebagai warga negara Indonesia perlu mendapat perlakuan yang sama di mata undang-undang.
"Namun ini tidak lantas diartikan negara melegitimasi status LGBT. Hanya hak-haknya sebagai warga negara yang harus dijamin oleh negara," kata Nasir.
Pernyataan Nasir tersebut disampaikan untuk meluruskan sikapnya yang sempat mempertanyakan keberadaan kelompok jasa konseling Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) di kampus Universitas Indonesia.
(utd)