Jakarta, CNN Indonesia -- Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengungkapkan, pemerintah berharap agar draf akademik atau daftar isian masalah revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang dapat segera masuk.
"Mudah-mudahan minggu depan draf akademik atau daftar isian masalah bisa segera dimasukkan agar ini bisa menjadi bahasan sebelum DPR mengalami reses. Harapannya ini bisa diselesaikan," ujar Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (27/1).
Pramono menuturkan, revisi Undang-Undang Antiterorisme merupakan inisiatif pemerintah. Titik berat revisi ini, tuturnya, adalah poin pencegahan dan deradikalisasi yang nantinya akan diberikan kewenangan penanganannya kepada Polri dan, sebagian lainnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sesuai dengan arahan Presiden (Joko Widodo) pada ratas terakhir minggu lalu, memberikan domain ini kepada Menkumham (Yasonna Laoly), Menkopolhukam (Luhut Binsar Pandjaitan), dan sekarang ini materi utamanya telah disiapkan bersama dengan kepolisian," katanya.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyampaikan, revisi Undang-Undang Antiterorisme akan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016.
"Ya sudah (masuk ke dalam Prolegnas 2016). Jadi kan belum kami ketok, kami akan rapat pekan ini atau beberapa hari sebelum pekan depan," ujarnya.
Yasonna menjelaskan, pemerintah sepakat untuk merevisi, alih-alih menerbitkan Perppu atau undang-undang baru, karena penerbitan Perppu akan memunculkan perdebatan.
Menurutnya, tidak ada kegentingan atau kondisi yang memaksa hingga Perppu harus diterbitkan. Selain itu, jika ada poin yang tidak disetujui oleh anggota dewan, maka semua rancangan Perppu akan ditolak.
"Kalau Perppu itu ada DPR tidak setuju, nanti langsung batal semua. Sudah capai-capai kami buat, ditolak bubar semua. Tapi kalo revisi kan ada dialog, ada dialektika berpikir. Tapi kami sudah sepakat dengan DPR akan kami percepat," katanya.
Langkah ini, imbuh Yasonna, didukung oleh komitemn Ketua DPR Ade Komarudin yang ingin memotong waktu reses dan tidak perlu melakukan studi banding, sehingga ada ruang waktu lebih banyak bagi pemerintah. Ia memperkirakan proses percepatan, paling lambat, hanya memerlukan dua masa sidang atau sekitar enam bulan.
"Itu kan paling (lambat), karena tidak terlalu banyak, saya kira bisa kami selesaikan secepatnya. Dalam waktu dekat pemerintah siapkan draf, segera kirim ke DPR. Kami harapkan direspons cepat," ujarnya.
(meg)