Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengaku pemerintah kesulitan menghadirkan saksi meringankan bagi buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati, termasuk Rita Krisdianti.
"Kami bantu menelusuri di mana saksi-saksi yang bisa dihadirkan dalam sidang Rita. Kami sudah temukan dua orang, di mana mereka berlokasi di Hong Kong dan Kupang, Nusa Tenggara Timur," kata Iqbal kepada CNN Indonesia, Kamis (28/1).
Sayangnya, mereka menolak hadir. Meskipun kedua orang tersebut bersedia hadir, Iqbal menyatakan khawatir mereka justru akan memberikan kesaksian yang memberatkan bagi Rita.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sudah mendampingi keluarga Rita dan mengawal kasus ini sejak awal kasus ini, yaitu sekitar tahun 2013. Kakak Rita yang bernama Suci juga selalu datang ke persidangan adiknya," kata Iqbal.
Ia kemudian menegaskan bahwa kasus Rita masih panjang dan belum ada putusan. Iqbal menepis kabar bahwa hari ini merupakan sidang putusan Rita.
"Hari ini, pengacara Rita menyampaikan keberatan akan sejumlah pemeriksaan yang dilakukan aparat penegak hukum di sana, ada beberapa hal yang dianggap tidak sah. Sidang kemudian diundur dan dijadwalkan pada akhir Februari mendatang," ujarnya.
Iqbal justru terkejut ketika kasus Rita mencuat ke media lantaran keluarga Rita sebelumnya telah meminta agar kasus ini tidak diekspos demi menghindari stigma.
"Belum lagi, ada informasi yang diterima keluarga kalau Rita akan dieksekusi. Padahal proses hukumnya masih panjang, masih ada kasasi dan banding. Putusan saja belum," katanya.
Berdasarkan data terakhir Kemlu, ada 158 warga negara Indonesia di Malaysia yang terancam hukuman mati. Sebanyak 60 persen di antaranya merupakan kasus narkotika.
"Tahun lalu, kami berhasil membebaskan 13 orang WNI yang terancam hukuman mati," katanya.
Pagi tadi, para buruh yang terdiri dari berbagai komunitas berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta untuk menuntut pembebasan Rita dari tuntutan hukuman mati.
Koordinator aksi dari Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia, Ramches Merdeka menuturkan, pada 24 Mei 2012 Rita tercatat sebagai buruh migran yang diberangkatkan oleh PT Putra Indo Sejahtera (PT PIS) Madiun ke Hong Kong. Kemudian, pada Januari 2013 Rita berangkat ke Hong Kong.
Belum genap tiga bulan bekerja, Rita dipecat. Ia kemudian dikembalikan ke agensi di Hong Kong yang selanjutnya menempatkannya ke Makau untuk menunggu pekerjaan dan visa.
Karena sudah tiga bulan berada di penampungan agensinya di Makau, Rita berencana kembali ke Madiun pada Juli 2013. "Saat dia mau pulang inilah, ada temannya yang menawarkan pekerjaan sampingan berupa bisnis kain sari dan pakaian," kata Ramches.
Rita selanjutnya diarahkan untuk terbang ke New Delhi, India dan sempat bermalam di sana.
"Di sana ada seseorang yang menitipkan koper yang katanya berisi pakaian. Rita diminta membawanya ke Penang, Malaysia karena ada orang yang mau mengambil koper tersebut," kata Ramches.
Saat tiba di Bandar Udara Internasional Bayan Lepas, Penang, Malaysia, 10 Juli 2013, Rita ditangkap kepolisian Diraja Malaysia karena koper tersebut ternyata berisi paket narkotika seberat 4 kilogram. Ancaman hukuman di Malaysia untuk perbuatan tersebut adalah hukuman gantung.
(rdk)