Jakarta, CNN Indonesia -- Kejaksaan Agung selaku Jaksa Pengacara Negara pada perkara Yayasan Supersemar telah meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk melakukan sita eksekusi terhadap harta milik yayasan pendirian Presiden kedua Soeharto itu.
Permintaan sita eksekusi Yayasan Supersemar telah dilayangkan Kejagung pada Senin (1/2) ini. Sita eksekusi akan dilakukan setelah Supersemar gagal membayar denda sebesar Rp4,4 triliun sejak Rabu (20/1) lalu.
"Aset-aset yang dimintakan untuk dieksekusi adalah rekening, deposito, dan giro di berbagai bank yang seluruhnya berjumlah 113 buah rekening, deposito, giro," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Amir Yanto dalam keterangan tertulisnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain menyita seluruh rekening, deposito, dan giro milik Supersemar, Kejagung juga mengambil dua bidang tanah milik yayasan penyalur beasiswa itu. Kedua tanah yang dimohon untuk disita terletak di Jakarta dan Bogor.
"Dua bidang tanah dan bangunan seluas lebih kurang 16.000 m2 terletak di Bogor dan Jakarta juga diminta untuk dieksekusi. Kemudian eksekusi juga diminta untuk kendaraan roda empat sebanyak enam unit," ujarnya.
Supersemar telah diputus bersalah oleh pengadilan pasca menyalurkan dana ke 1 bank dan tujuh perusahaan pada periode 1990an silam. Para penerima dana Supersemar saat itu adalah Bank Duta, PT Sempati Air, PT Kiani Lestari, PT Kiani Sakti, PT Kalhold Utama, Essam Timber, PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri, dan Kelompok Usaha Kosgoro.
Pada Putusan MA Nomor 2896 K/Pdt/2009 disebutkan bahwa Bank Duta sempat menerima uang sejumlah US$ 420 juta dari Supersemar. Sementara PT. Sempati Air menerima dana Rp13 miliar kala itu.
Kemudian, uang sebesar Rp150 miliar diberikan Supersemar kepada PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti. PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri menerima uang sebesar Rp12 miliar dari yayasan tersebut.
Terakhir, Kosgoro tercatat menerima uang sejumlah Rp10 miliar dari Supersemar di periode yang sama.
Supersemar divonis bersalah oleh PN Jakarta Selatan pada 28 Maret 2008. Putusan PN Jakarta Selatan dikuatkan dengan vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta di tingkat banding pada 19 Februari 2009.
Keberatan dengan putusan itu, Supersemar mengajukan kasasi ke MA pada Oktober 2010. Namun kasasi Supersemar tidak diterima sepenuhnya oleh MA. MA menerima sebagian permohonan pemerintah. Namun jumlah nominal denda yang harus dibayar Yayasan Supersemar salah ketik dalam putusan tersebut.
Dalam putusan, tertulis denda yang harus dibayar Supersemar adalah 75 persen dari Rp185 juta. Padahal Yayasan itu seharusnya membayar 75 persen dari Rp185 miliar, atau Rp 139 miliar kepada negara.
Atas kasasi itu, Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) pada September 2013, yang juga diikuti PK Yayasan Supersemar. MA akhirnya mengabulkan PK negara dan menolak PK Supersemar sehingga mereka mesti membayar denda sebesar Rp4,4 triliun lebih melalui pengadilan.
(pit)