Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan memaparkan sejumlah perubahan yang diatur pemerintah terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Luhut berkata, berkumpul untuk membicarakan paham maupun gerakan radikal merupakan salah satu delik pidana yang pemerintah akan tambahkan pada revisi beleid tersebut.
"Dari usulan yang ada, orang yang bergabung dengan ISIS, paspornya akan dicabut. Orang-orang yang berkumpul untuk membicarakan hal-hal seperti itu juga akan dipidana," ujarnya di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (1/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Kepala Staf Kepresidenan itu menuturkan, pada draf revisi UU Antiterorime, memfasilitasi orang lain untuk bergabung ke kelompok radikal dan separatis juga akan dikenakan hukuman pidana.
Luhut mengatakan, pemerintah berharap aksi teror yang ditimbulkan kelompok radikal akan nihil akibat tiga penambahan delik pidana tersebut.
"Kami berharap ini bisa mengurangi ruang gerak mereka," ucapnya.
Selain itu, Luhut berkata, pemerintah juga akan mendefinisikan terorisme sebagai rangkaian perbuatan kekerasan. Menurutnya, pengaturan baru itu dapat menjerat seluruh pelaku aksi teror, tidak hanya yang berafiliasi dengan ISIS tapi juga berbagai gerakan separtis di dalam negeri.
"Enggak cuma ISIS saja. Misalnya di Papua, Aceh atau Medan ada yang melakukan tindakan berbahaya terhadap negara, mereka bisa kena juga," katanya.
Menurut Luhut, poin-poin penting lain pada perubahan UU Antiterorisme adalah penambahan alat bukti berupa komunikasi elektronik. Aliran dana mencurigakan dari dan menuju kelompok teror juga akan dipidanakan.
Akhir pekan lalu, setelah rapat koordinasi tingkat kementerian dan lembaga, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan, 35 persen UU Antiterorisme akan diubah.
Ia berkata, komposisi 35 persen tersebut merupakan syarat untuk merevisi sebuah undang-undang.
(rdk)