Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) La Ode Muhammad Syarif menilai revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK usulan DPR 90 persen melemahkan KPK. Poin penyadapan yang tercantum dalam Pasal 12 A dinilai menjadi salah satu batu ganjalan komisi antirasuah memberantas korupsi.
"Lebih dari 90 persen RUU KPK ini pelemahan dan bukan penguatan. Draf yang disampaikan, banyak melemahkan misal KPK kalau menyadap harus izin Dewan Pengawas," ujar La Ode saat ditemui di Kantor KPK, Jakarta, Rabu (3/2).
Mekanisme tersebut, menurutnya, tak selaras dengan alur kerja komisi antirasuah terkait penyadapan yang telah berlangsung lebih dari 10 tahun. Sebelumnya KPK tak meminta izin siapa pun untuk menyadap. Penyadapan ini dilakukan dengan kewenangan penuh apabila penyelidik mengendus dugaan korupsi.
"Ini kami anggap melemahkan. Kami anggap tidak cocok dengan apa yang dikerjakan KPK," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain poin penyadapan, terdapat pula pembatasan wewenang untuk mengusut korupsi dengan minimal angka kerugian negara Rp25 miliar. Menurutnya, besaran uang bukan menjadi tolak ukur pengusutan rasuah.
"Bukan cuma besaran uang yang dipikirkan tapi soal aktor yang melakukan tindak kejahatan pidana korupsi. Misal pejabat tinggi korupsi kurang dari Rp 1 miliar. Dengan status kedudukan orang tersebut, seharusnya tidak melakukan itu," ucapnya.
Angka tersebut muncul dalam Pasal 11 RUU KPK usulan DPR. Mengacu UU KPK pada tahun 2002, lembaga ini bisa menangani kasus apa pun dengan angka minimal Rp1 miliar.
Dari aturan tersebut, KPK berhasil menggelar 322 penyelidikan, 224 penyidikan, 125 penuntutan kasus, dan 140 kasus telah inkracht atau berkekuatan hukum tetap.
"Sebenernya undang-undang antikorupsi kan bukan soal kerugian negara tapi mengubah perilaku seseorang supaya jangan korupsi di kemudian hari. Tidak bisa hanya melibat besar kecil objek korupsi tapi aktornya," katanya.
Lebih jauh, terdapat sejumlah poin yang dinilai melemahkan seperti wewenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan mengangkat penyelidik serta penyidik independen.
Wewenang SP3 tak pernah dimiliki komisi antirasuah. Alhasil, semua kasus yang disidik akan berujung di pengadilan. Dalam catatannya, KPK tak pernah kalah di meja hijau.
Sementara terkait penyelidikan, dalam aturan yang baru, penyelidik berasal dari Kejaksaan dan Kepolisian. Dengan demikian, KPK tak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik independen.
(pit)