Jakarta, CNN Indonesia -- Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal absen dari pembahasan revisi RUU KPK dengan DPR. Wakil Ketua KPK La Ode Muhammad Syarif menjelaskan lima komisioner padat agenda lainnya.
"Kami sudah ada jadwal untuk kegiatan lain. Yang hadir rapat di Badan Legislasi bukan komisioner tapi deputi atau biro hukum untuk menyampaikan poin," kata La Ode saat jumpa pers di Kantor KPK, Jakarta, kemarin.
La Ode mengaku sikap demikian telah disepakati bersama dan menjadi keputusan akhir. Meski pimpinan tak hadir, ia menjelaskan, bukan berarti menyepelekan isu ini.
"Tim yang ke sana adalah mewakili sikap KPK. Kami melihatnya 90 persen (RUU KPK) adalah pelemahan bukan penguatan," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sikap pimpinan jilid IV berbeda dengan masa sebelumnya. Pada November 2015, Ketua sementara KPK Taufiequrachman Ruki dan pimpinan lainnya justru menyambangi langsung dan membahas RUU KPK bersama dengan DPR. Sikap tegas penolakan pun ditunjukkan langsung tanpa ada negosiasi.
Meski demikian, eks Komisioner KPK Indriyanto Seno Adji berpendapat absennya pimpinan saat pembahasan RUU KPK tak perlu diperdebatkan. Sistem pendelegasian bisa saja dilakukan. Menurutnya, yang terpenting adalah substansi yang disampaikan terkait sikap KPK.
"Tidak perlu Pimpinan KPK dan tataran pimpinan. Ini kan bicara dalam konteksi policy saja. Memang kedeputian dan biro hukum sngat memahami substansi revisi itu," kata Indriyanto ketika dihubungi, Kamis (4/2).
Indriyanto juga menegaskan sikap tegas KPK untuk menolak RUU menjadi perhatian khusus yang harus disampaikan di depan Badan Legislasi. "Kelembagaan KPM kan sudah berpendapat tidak perlu merevisi UU KPK. UU yang sekarang ini masih sangT kompeten dan baik secara substantif regulatif," ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPM La Ode Muhammad Syarif menilai revisi RUU KPK usulan DPR 90 persen melemahkan KPK. Poin penyadapan yang tercantum dalam Pasal 12 A dinilai menjadi salah satu batu ganjalan komisi antirasuah memberantas korupsi.
Selain poin penyadapan, terdapat pula pembatasan wewenang untuk mengusut korupsi dengan minimal angka kerugian negara Rp25 miliar. Menurutnya, besaran uang bukan menjadi satu-satunya tolak ukur pengusutan rasuah tetapi aktor korupsi.
Lebih jauh, terdapat sejumlah poin yang dinilai melemahkan seperti wewenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan mengangkat penyelidik serta penyidik independen.
(gil)