Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Legislasi DPR menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini, Kamis (4/2). Dalam rapat, Baleg akan mendengar pandangan KPK atas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketua Baleg Supratman Andi Agtas sebelumnya menuturkan, RDPU bersama KPK dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian DPR selaku inisiator untuk menyempurnakan draf revisi UU KPK. Baleg akan membentuk panitia kerja (Panja) setelah mendengar masukan KPK dan para pakar.
Revisi UU KPK masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016. Draf revisi merupakan usulan 40 anggota dewan dari enam fraksi. Sebanyak 15 orang dari Fraksi PDIP, 11 orang dari Fraksi NasDem, sembilan orang dari Fraksi Golkar, lima orang dari Fraksi PPP, tiga orang dari Fraksi Hanura, dan dua orang dari Fraksi PKB.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan draf revisi UU KPK yang diperoleh CNN Indonesia, setidaknya ada lima poin yang menuai kontroversi, terutama dari para aktivis antikorupsi. Salah satunya adalah kenaikan angka minimal kerugian negara dari perkara yang diusut KPK. Saat ini, KPK berwenang menyelidiki, menyidik dan menuntut perkara korupsi yang merugikan negara minimal Rp1 miliar.
Namun pada Pasal 11 draf revisi UU KPK yang beredar sejak Oktober 2015, angka itu berubah menjadi Rp25 miliar. Meski demikian, salah satu pengusul revisi dari Fraksi PDIP Ichsan Soelistyo mengatakan perubahan dari Rp1 miliar menjadi Rp25 miliar minimal kerugian yang bisa diusut KPK tersebut dihilangkan dari draf.
Hal kedua yang akan direvisi adalah kewenangan penyadapan KPK. Pasal 12 draf revisi mengatur KPK untuk mendapatkan izin Dewan Pengawas terlebih dahulu sebelum melakukan penyadapan. Penyadapan boleh dilakukan setelah KPK mendapatkan bukti permulaan yang cukup.
Pimpinan KPK harus meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas paling lama 1x24 jam setelah dimulai penyadapan. Hal-hal ini sebelumnya tidak diatur dalam UU KPK. Lembaga anti rasuah selama ini tidak perlu meminta izin siapapun untuk melakukan penyadapan.
Merujuk pada Pasal 47 draf revisi, KPK juga memerlukan izin Dewan Pengawas dan bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penyitaan. Sebelumnya, KPK dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeri asalkan memiliki bukti permulaan yang cukup.
Pro kontra lain dalam draf tersebut yaitu keberadaan Dewan Pengawas KPK. Kewenangan Dewan Pengawas diatur pada Pasal 37 yang disebut bertugas untuk memeriksa dugaan kode etik pimpinan KPK. Mereka juga mengontrol dan mengevaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala selama setahun sekali.
Pasal 37C mengatur Dewan Pengawas berasal terdiri dari lima orang yang tidak memiliki latar belakang politik. Mereka akan dipilih dan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia.
DPR turut mengusulkan agar KPK berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3). Hal itu diatur dalam Pasal 40, yang sebelumnya wewenang ini tak pernah dimiliki komisi antirasuah.
Dalam catatannya, KPK tak pernah kalah di meja hijau dalam konteks mendakwa seseorang sebagai koruptor. Hal ini yang juga membedakan KPK dengan aparat penegak hukum lainnya, Kepolisian dan Kejaksaan Agung.
Draf revisi juga mengubah aturan penyelidik dan penyidik lembaga itu. Pasal 43 draf revisi mengatur, penyelidik KPK berasal dari Kepolisian. Sementara Pasal 45 mengatur, KPK memiliki penyidik yang diperbantukan Kepolisan dan Kejaksaan.
Mereka diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan KPK atas usulan Kepolisian atau Kejaksaan. Dengan demikian, KPK tak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik independen.
(rdk)