Jakarta, CNN Indonesia -- Draf revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi mulai dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR hari ini, Kamis (4/2). Namun para pegiat antikorupsi menyayangkan ketiadaan naskah akademis revisi UU tersebut.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradilla Caesar mengatakan, sebelum menjadi draf dan dibahas lewat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR, harus lebih dulu disiapkan naskah akademis sebagai kerangka acuan dalam melakukan revisi.
"Kalau enggak ada naskah akademis yang terjadi adalah sekarang ini, tidak jelas arah dari revisi dan apa yang mendasari revisi ini dilakukan," ujar Aradilla ketika dihubungi CNN Indonesia, Rabu (3/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Aradilla, salah satu kekacauan yang terjadi karena ketiadaan naskah akademik dalam revisi UU KPK adalah muncul dan hilangnya Pasal 11 yang mengatur jumlah kerugian negara minimal Rp25 miliar untuk ditangani KPK. Saat awal draf revisi UU KPK beredar di publik, ada klausul yang mengharuskan nilai minimal kerugian negara Rp25 miliar dari sebelumnya hanya Rp1 miliar.
"Awalnya ada Rp25 miliar, lalu dalam draf terbaru klausul itu hilang. Angka ini muncul dari mana? Apa alasan yang mendasari sampai diubah menjadi Rp25 miliar kemudian hilang lagi?" tanya Aradilla.
Melihat fakta tersebut, lanjut Aradilla, agak sulit bagi publik untuk percaya bahwa niat DPR merevisi UU KPK ini adalah untuk menguatkan KPK. Kecenderungan yang terlihat dalam pasal-pasal pada draf revisi adalah untuk melemahkan KPK.
"Kok kita enggak punya naskah akademisnya ini memang salah satu pertanyaan terbesar kita. Tanpa ini, kita tidak bisa tahu apa tujuan DPR dan jelas terlihat ingin melemahkan," katanya.
Pasal 43 ayat 3 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan, rancangan UU yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai naskah akademis.
Selain soal jumlah minimal kerugian negara yang bisa diusut KPK, kontroversi lain dalam draf tersebut yaitu penyadapan oleh KPK dilakukan setelah mendapat bukti cukup dan izin tertulis dari Dewan Pengawas; dibentuk Dewan Pengawas untuk mengontrol tugas dan wewenang KPK, dan memeriksa pelanggaran etik pimpinan.
Selain itu KPK berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan penututan perkara korupsi; penyidik KPK melakukan penyitaan dengan izin Dewan Pengawas; dan KPK tidak boleh merekrut penyidik independen.
(rdk)