Jakarta, CNN Indonesia -- Terdakwa simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menolak seluruh tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum. Saat membacakan pledoi atau nota pembelaan, para terdakwa meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus bebas mereka atas segala tuntutan hukum pidana.
Sidang hari ini, Kamis (4/2), mengagendakan pembacaan pledoi oleh empat terdakwa simpatisan ISIS. Mereka adalah Aprimul Henry alias Mulbin Arifin, Ridwan Sungkar alias Abu Bilal alias Iwan alias Ewok, Abdul Hakim alias Abu Imad, dan Ahmad Junaidi alias Abu Salman. Oleh jaksa, mereka dituntut hukuman beragam.
"Tidak terbukti apa yang mereka lakukan itu, karena semua perbuatan mereka dilakukan sebelum ISIS ditetapkan sebagai organisasi teroris di Indonesia," kata penasihat hukum empat terdakwa, Asludin Hatjani, di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asludin mengatakan, ISIS ditetapkan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah Indonesia pada 11 Oktober 2014. Sementara tindakan kliennya sebagaimana yang didakwakan jaksa, dilakukan sebelum adanya penetapan itu.
"Saat itu ISIS belum dinyatakan sebagai organisasi teroris. Kalaupun mereka (terdakwa) sudah bergabung dengan ISIS, mereka tidak bisa didakwa sesuai ketentuan yang berlaku di Indonesia," kata Asludin.
Asludin mengatakan, aturan hukum yang berlaku di Indonesia mengandung asas legalitas. Oleh karena itu tidak ada seorang pun yang bisa dihukum kecuali atas perundang-undangan yang sudah berlaku.
Sementara saat itu, kata Asludin, undang-undang terkait ISIS belum ada sehingga organisasi tersebut belum dinyatakan terlarang. Itu sebabnya dia berpendapat tuntutan jaksa melanggar ketentutan undang-undang asas legalitas, sebab jaksa memberlakukan asas retroaktif (berlaku surut) di mana hukum yang dibuat diberlakukan untuk perbuatan pidana yang terjadi pada masa lalu.
Asludin juga mengatakan, jika kliennya dinyatakan bersalah karena pernah menggunakan senjata api di Suriah, maka yang bisa mengadili mereka adalah otoritas hukum yang berlaku di Suriah.
Pada 2014, Ridwan Sungkar, Abdul Hakim, Ahmad Junaedi pernah pergi ke Suriah. "Di sana mereka memang sempat menggunakan senjata. Itu pelanggaran. Mereka melakukan pelanggaran bukan di Indonesia, tapi di Suriah. Seharusnya yang mengadili mereka itu otoritas hukum yang ada di Suriah," kata Asludin.
Asludin menilai, Resolusi Dewan Keamanan PBB tidak bisa dijadikan dasar hukum oleh jaksa untuk menuntut terdakwa. Bagi Asludin, yang berhak mengadili seseorang hanya otoritas hukum yang ada di Indonesia.
"Resolusi itu kan imbauan. Namanya imbauan enggak bisa dijadikan dasar untuk peradilan," kata Asludin.
Dalam perkara ini, Aprimul dituntut lima tahun penjara dan diminta membayar denda sebesar Rp500 ribu. Dia didakwa terlibat dalam pemberangkatan orang-orang yang bergabung dengan ISIS ke Suriah.
Sementara Ridwan dituntut hukuman pidana enam tahun penjara. Namun dia hanya dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp5 ribu. Ridwan didakwa karena pernah berangkat ke Suriah dan sempat menggunakan senjata saat latihan di muaskar.
Berikutnya terdakwa Ahmad Junaidi dituntut hukuman lima tahun penjara. Pedagang bakso keliling ini mengaku menyesal berangkat ke Suriah. Dia merasa ditipu oleh Abu Jandal karena hanya diberi bayaran murah. Padahal sebelum berangkat dia dijanjikan memperoleh bayaran lebih tinggi dari penghasilannya selama di Indonesia.
Sedangkan terdakwa Abdul Hakim dituntut hukuman penjara lima tahun penjara. Penyidik juga merampas bendera ISIS yang disita saat ia ditangkap. Dia berada ke Suriah sekitar delapan bulan.
Abdul berangkat pada 2013 bersama sembilan orang lainnya, termasuk Salim Mubarak at-Tamimi alias Abu Jandal. Tak lama kemudian, Abu Jandal kembali ke Indonesia untuk mengajak simpatisan lain ke Suriah, di antaranya Junaedi dan Ridwan Sungkar.
Atas pledoi yang disampaikan terdakwa, tim jaksa penuntut umum tetap berpendirian pada tuntutan mereka. Jaksa menjerat terdakwa dengan UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Hakim Ketua Syahlan menunda sidang Selasa pekan depan dengan agenda pembacaan putusan atau vonis terhadap keempatnya.
(agk)