Jakarta, CNN Indonesia -- Polisi menahan bekas Kepala Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) Raden Priyono dan anak buahnya, bekas Deputi Finansial Djoko Harsono, usai diperiksa terkait korupsi kondensat bagian negara yang juga melibatkan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI).
Ditemui pascapenahanan di Markas Besar Polri, Jakarta, salah satu pengacara Priyono mengatakan ada nama lain yang harus bertanggungjawab dalam kasus ini. "Kami, BP Migas, hanya ikut kebijakan Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono) yang disampaikan oleh Wakil Presiden (Jusuf Kalla) saat itu," kata Supriyadi Adi, Kamis (11/2) malam.
Pada saat korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp35 triliun diduga terjadi, 2008-20012, pemerintahan sedang dipimpin oleh Susilo (SBY) dan Jusuf (JK).
Supriyadi menjelaskan kliennya sebagai Kepala BP Migas hanya menjalankan kebijakan pemerintah untuk menunjuk TPPI sebagai perusahaan rekan penjualan kondensat bagian negara. Kebijakan itu, kata dia, dicapai lewat rapat yang dipimpin oleh JK dan dihadiri juga oleh pihak Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral dan Kementerian Keuangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya bingung kenapa penunjukkan TPPI ini dipermasalahkan," kata Adi. "Kalau ini masalah kebijakan, harus dilihat siapa yang buat kebijakan, dan kenakan pasal 55 (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Turut Serta Melakukan Pidana)."
Dia juga mempertanyakan penilaian penyidik yang menyebut terjadi kerugian total dalam kasus ini. Jika memang seperti itu, maka "kebijakan pemerintah gagal total."
"Kalau itu diikuti terus bukan hanya Raden Priyono. Kalau itu kebijakan, siapa pembuat kebijakan,"
Berdasarkan risalah rapat soal TPPI pada Mei 2008 lalu, JK diketahui memberikan beberapa arahan soal mekanisme bisnis TPPI dan Pertamina.
Hasil rapat yang dilakukan pada pukul 16.50 hingga 17.20 WIB tersebut juga menghasilkan poin bahwa Pertamina akan menyediakan kebutuhan kondensat bagi TPPI dengan harga yang menguntungkan kedua perusahaan.
"Pertamina membeli output Migas TPPI, tetapi harga beli Pertamina tidak boleh lebih mahal dari harga impor yang selama ini dibayar, yaitu landed price yang di Surabaya, MOPS plus 1,5 persen hingga 2 persen,” kata JK berdasarkan risalah tersebut.
JK menjelaskan bahwa TPPI merupakan perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh pemerintah dan Pertamina sehingga perlu dioptimalkan perannya dalam penyediaan Bahan Bakar Minyak khususnya di Jawa Timur.
"Termasuk harga jual kondesat, Pertamina kepada TPPI dan harga jual output TPPI pada Pertamina. Pembahasan harus diselesaikan dalam waktu paling lama satu Minggu terhitung sejak rapat ini," kata JK.
Sejumlah menteri yang hadir dalam rapat penyehatan neraca TPPI antara lain Boediono yang kala itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Purnomo Yusgiantoro selaku Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dalam risalah rapat tersebut, disebutkan pihak TPPI yang hadir antara lain Komisaris Utama dan Wakil Direkturnya. Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu juga menyampaikan hal tersebut.
"Amir Sambodo selaku komisaris juga hadir dalam rapat tersebut," kata Anggito kepada CNNIndonesia.com.
Amir Sambodo saat itu juga tercatat sebagai Presiden Direktur perusahaan induk TPPI, yakni PT Tuban Petrochemical Industries.
Setengah jam berjalan, tepatnya pukul 17.20 WIB, rapat selesai. Anggito mengatakan rapat tersebut memutuskan Pertamina selaku offtaker menalangi utang TPPI sekitar Rp 1 triliun.
Pihak Kepolisian belum mau berkomentar soal langkah penyidik menahan kedua tersangka dan segala hal berkaitan kasus ini. Kepala Biro Pemerangan Masyarakat Brigadir Jenderal Agus Rianto mengatakan pihaknya akan merilisnya hari ini.
TPPI diduga mengambil kondensat bagian negara dari BP migas tanpa kontrak yang sah, sehingga terjadi kerugian total dalam proses jual belinya. Selain itu, BP Migas diduga menunjuk TPPI sebagai perusahaan rekanan meski mengetahui kondisi finansialnya sedang bermasalah dan tidak layak.
(gil/sip)