Pengamat: Pengosongan Kolom Agama Sesuai UU

CNN Indonesia
Kamis, 25 Feb 2016 00:01 WIB
Menurut peneliti dari The Indonesian Institute, persoalan kolom agama di KTP merupakan salah satu diskriminasi terhadap berkeyakinan di Indonesia.
Petugas menunjukan cara pembuatan E-KTP di linkungan Pusat data server E-KTP di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Degeri. Jakarta, Selasa 25 November 2014. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti dari The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono, menilai kalau pendapat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang membolehkan pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik bagi penganut di luar enam agama yang diakui, telah sesuai isi Undang-undang (UU) nomor 24 tahun 2013.

"Itu merupakan isi dari Pasal 64 ayat 5, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 sebagai perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan," katanya melalui keterangan tertulis yang dikutip Antara pada Selasa (22/2).

Arfianto menjelaskan, dalam pasal tersebut disebutkan elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 disebutkan bahwa agama yang dicantumkan dalam KTP-el adalah agama resmi yang diakui Pemerintah yakni Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu.

"Sedangkan penganut ajaran kepercayaan yang belum diakui secara resmi oleh pemerintah boleh mengosongkan kolom agama yang tertera di e-KTP," ujarnya.

Hal itu menurut Arfianto, artinya warga negara Indonesia yang memeluk kepercayaan seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan Malim, boleh mengosongan kolom agama mereka. Menurutnya, persoalan kolom agama di KTP merupakan salah satu diskriminasi terhadap berkeyakinan di Indonesia.

"Itu terlihat dari pemaksaan kepada pemeluk kepercayaan dengan mencantumkan agama yang bukan kepercayaan mereka pada kolom agama di KTP adalah pengingkaran terhadap hak asasi manusia," ujarnya.

Arfianto menilai hal tersebut bertentangan dengan UU No 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia di dalam pasal 22 ayat 1 yang menyebutkan setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamnya dan kepercayaanya itu.

Sementara itu di ayat 2, menurutnya disebutkan negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.

"Oleh karena itu saya menilai kebijakan untuk mengosongkan kolom agama di KTP merupakan jalan tengah untuk menghindari diskriminasi bagi pemeluk kepercayaan yang minoritas di Indonesia," katanya.

Namun Arfianto menilai langkah itu belum cukup bagi pemerintah untuk melindungi kelompok minoritas karena itu harus segera membentuk peraturan perundangan yang komprehensif guna mengatur perlindungan berkeyakinan di Indonesia.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER