DPR Sulit Akomodir Permintaan Penambahan Kewenangan BIN

Christie Stefanie | CNN Indonesia
Selasa, 01 Mar 2016 10:42 WIB
Revisi Undang-undang Pemberantasan Terorisme merupakan inisiatif pemerintah sehingga DPR sulit untuk memenuhi permintaan BIN.
Kepala BIN berharap bisa ikut memeriksa terduga teroris. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komisi Pertahanan DPR Mahfudz Siddik mengaku sulit mengakomodir permintaan Badan Intelijen Negara (BIN) agar mereka bisa memanggil terduga teroris. Hal itu dikarenakan rencana revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan inisiatif pemerintah.

Sementara, pemerintah dalam hal ini yang diwakili Jaksa Agung Prasetyo dan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan tidak mengakomodir permintaan BIN itu dalam draf revisi UU Terorisme.

"Kalau pemerintah tidak usulkan itu maka kecil kemungkinan itu dibahas. Lucu kalau DPR mengusulkan sedangkan ini inisiatif pemerintah," ujar Mahfudz Siddik saat dihubungi, Selasa (1/3).

Sebelumnya Kepala BIN Sutiyoso meminta kewenangan untuk memanggil terduga teroris untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan terorisme dan separatisme. Permintaan itu disampaikannya di rapat kerja bersama Komisi Pertahanan DPR kemarin.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menanggapi itu, Mahfudz mengatakan penambahan kewenangan BIN tidak dibahas dalam rapat kerja gabungan pemerintah bersama Komisi Pertahanan dan Komisi Hukum DPR mengenai penanggulangan terorisme beberapa waktu lalu. Saat itu, Prasetyo menyoroti masalah penahanan juga menjadi hal yang disorot dalam proses revisi.

Jaksa Agung Prasetyo mengatakan nantinya waktu penahanan dapat diatur lebih longgar, sehingga aparat penegak hukum dapat lebih maksimal dalam meneliti berkas perkara. Saat ini, Kepolisian dapat melakukan penahanan selama 20 hari terkait pembuktian tindak pidana terorisme. Penahanan itu nantinya hanya dapat diperpanjang selama 40 hari.

Sementara Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan menyoroti upaya pencegahan tindak radikal terorisme secara masif. Menurutnya, hal itu diperlukan agar pemerintah dapat menekan dan mengurangi kemungkinan kelompok terorisme dalam melakukan aksinya.

"Yang jadi pertanyaan kenapa pemerintah tidak mengakomodasi dalam draf revisi yang diajukan? Mestinya usulan itu datang dari pemerintah," kata Legislator PKS.

Adapun poin-poin krusial yang disoroti pemerintah adalah larangan masuknya ke Indonesia barang potensial sebagai bahan peledak, serta memperdagangkan senjata kimia, biologi, radiologi, tenaga nuklir serta zat radioaktif untuk melakukan tindak pidana terorisme.

Larangan bagi warga Indonesia melakukan hubungan dengan orang atau kelompok radikal tertentu di luar negeri untuk melakukan tindak terorisme. Pemerintah juga melarang adanya latihan militer di luar negeri atau dengan organisasi radikalisme untuk mempersiapkan tindak pidana terorisme di Indonesia atau negara lain.

Kemudian, larangan melakukan hubungan baik secara langsung atau tidak langsung dengan kelompok radikalisme. Larangan menganut, mengembangkan ajaran ideologi radikalime terorisme ke orang lain. Undang-undang ini nantinya akan mengatur larangan bergabung atau mengajak bergabung dan perekrutan ke kelompok radikal terorisme.

Hal terkait pemberian atau penyumbangan harta benda kekayaan untuk kegiatan, keperluan dan kepentingan kelompok radikal terorisme juga diatur di rancangan revisi UU Terorisme.

UU terorisme juga melarang untuk membantu mempersiapkan kegiatan kelompol radikal terorisme, dan kekerasan, mengancam dan memaksa orang atau kelompok untuk bergabung dengan kelompok radikal terorisme. (sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER