Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi menyampaikan catatan kritis atas draf Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Percepatan perubahan undang-undang tersebut dinilai tidak dibarengi dengan penanganan akar persoalan terorisme.
Hendardi mengatakan, ujaran kebencian dan praktik intoleran merupakan anak tangga bagi terorisme. Sementara, selama ini kinerja pemerintah dalam menangani akar terorisme tersebut dinilai belum efisien.
"Kerja pemerintah di bidang itu belum maksimal. Intoleransi adalah akar dari terorisme," kata Hendardi saat menggelar konferensi pers di kantor Setara Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Kamis (3/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini dalam menangani praktik intoleransi, pemerintah dinilai cenderung reaktif. Hendardi mengibaratkan pemerintah sebagai petugas pemadam kebakaran, baru bereaksi setelah ada kejadian.
Surat Edaran Kapolri tentang ujaran kebencian, menurut Hendardi, lebih mendorong internal kepolisian dalam menangani kasus intoleransi.
Meski demikian, Hendardi juga mengapresiasi revisi undang-undang tersebut. Menurutnya, memang sudah seharusnya kebiijakan itu direvisi menyesuaikan perkembangan situasi terkait terorisme.
Setara melihat, revisi tersebut yampak dipercepat dengan adanya peristiwa aksi teror bom di Thamrin, Jakarta, pada Januari lalu. Percepatan itu, kata Hendardi, bukan berarti meluputkan beberapa hal yang justru dianggap penting untuk direvisi.
"Kami menganggap Undang-Undang Terorisme memang perlu dilakukan perubahan atau revisi, melihat tantangan mutakhir terorisme terus berkembang," kata Hendardi.
Hendardi menambahkan, dengan percepatan perubahan itu pemerintah seharusnya juga menjamin diminimalisasinya pelanggaran hak asasi manusia. Selain mengurangi terobosan hukum yang dianggap keliru dalam undang-undang tersebut.
"Kami selalu punya pandangan dalam persoalan terorisme ini mesti dicari dan diselesaiakn akar persoalan terorisme," ujarnya.
(bag)