Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) menyatakan akan terus melanjutkan proses hukum terhadap Fanny Safriansyah alias Ivan Haz yang telah melakukan tindak kekerasan terhadap pembantu rumah tangganya berinisial T, berusia 20 tahun.
"Kami berharap proses hukum kasus ini berjalan mengutamakan keadilan bagi korban dengan asas equality before the law persamaan di depan hukum tanpa diskriminasi," ujar Direktur LBH APIK Ratna Batara Munti dalam keterangan pers di kantor LBH APIK Jakarta, Jakarta Timur, Jumat (4/3).
Ratna mengatakan pihaknya sama sekali tidak akan menerima segala bentuk upaya damai yang dilakukan oleh pihak Ivan. Meski demikian, ia menyampaikan, keluarga Ivan telah beberapa kali mendatangai LBH APIK Jakarta untuk mendorong upaya damai.
Lebih lanjut, Ratna menjelaskan, kekerasan yang dilakukan Ivan merupakan delik umum yang tidak bisa diselesaikan dengan cara damai. Pasalnya, Ratna menilai, tindakan Ivan terhadap T telah menyebabkan penderitaan fisik dan psikis, serta merugikan masa depan T.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Oleh karena itu, tersangka IH harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum," ujarnya.
Selain itu, Ratna menuturkan penolakan damai yang dilakukan oleh pihaknya juga harus dihargai oleh pihak Ivan, dalam hal ini pengacara dan keluarga. Ratna meminta, pihak Ivan jangan melakukan intervensi kepada T dan LBH APIK Jakarta.
"Korban ingin mendapat keadilan hukum dana agar proses hukum ditegakkan tanpa pandang bulu dan hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas," ujar Ratna.
Lebih jauh, Ratna mengatakan pihaknya mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Sub Direktorat Remaja, Anak, dan Wanita Polda Metro Jaya yang telah menetapkan Ivan sebagai tersangka dan kemudian menahannya. Namun, pihaknya berharap, Kepolisian tidak mengabulkan permohonan penangguhan penahanan terhadap Ivan demi kemananan korban.
Meski Ivan merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan putra Mantan Wakil Presiden Hamzah Haz, Ratna menilai, hal tersebut bukan halangan bagi Kepolisian menegakkan hukum dengan adil.
"Aparat hukum harus dapat memastikan proses hukum berjalan tanpa intervensi dari manapun. Khusus penangguhan penahanan, kami berharap tidak dikabulkan demi kepentingan perlindungan korban dan proses hukum yang berjalan," ujar Ratna.
Kronologi Kekerasan oleh Ivan terhadap TRatna menceritakan T bekerja sebagai pembantu di tempat Ivan pada 2 Mei 2015 lalu. Kekerasan terhadap T terjadi setelah dua bulan menjadi pembantu, tepatnya setelah bulan Ramadhan tahun lalu. "Kekerasan dialami T sejak bulan Juli 2015 lalu di kediaman IH di Apartemen Ascot, lantai 14," ujarnya.
Kekerasan yang dilakukan oleh Ivan pun bervariasi. Berdasarkan pengakuan T, Ivan pernah memukul, menendang, dan menginjak tubuh T hingga luka. "Selain itu, terlapor T juga pernah mengancam akan membunuh dan menghabisi keluarga T jika berani kabur," ujar Ratna.
Selain dengan tangan dan kaki Ivan, T juga mengaku kerap dipukul dengan menggunakan mainan milik anak Ivan. Perlakuan Ivan tersebut terjadi ketika mendengar anaknya menangis sewaktu dirawat oleh T. "T sering dipukul dengan mainan anak IH hingga berdarah. Alasannya pemukulan lain karena T mengelap mainan anak IH dengan tisu basah. Setelah dipukul, IH mengancam akan membuat telinga T berdarah jika anak IH menangis lagi," ujar Ratna.
T kabur dan melapor ke KepolisianRatna menuturkan puncak kekerasan yang dilakukan oleh Ivan terjadi pada 29 September tahun lalu. Kala itu, sejumlah kekerasan dilakukan okeh Ivan terhadap T, diantaranya memukul telinga hingga berdarah dan bengkak, memukul kepala bagian belakang dan pundak dengan tabung pengusir serangga berukuran besar, dan menampar kedua pipi T dengan keras hingga T sulit berbicara.
"Tindakan IH dilakukan karena T tidak bisa mendiamkan anaknya yang sedang menangis. Karena IH tidak suka anaknya menangis," ujar Ratna.
Keesokan harinya, T yang sudah tidak tahan dengan perlakuan Ivan lantas melarikan diri dari apartemen Ivan dan meloncari pagar pembatas apartemen tersebut. "T kabur ke stasiun Karet, Sudirman. Saat itu, T hanya membawa satu baju. Karena barang pribadi T seperti telepon genggam, KTP, dan dompetnya disita Ivan," ujar.
Ratna mengungkapkan pelarian T terbayarkan ketika beberapa anggota LBH APIK kebetulan berada di stasiun tersebut. Saat itu, kondisi T menangis dan ketakutan, serta berteriak ingin bertemu Ibundanya.
"Saat ditemukan kepala T robek hingga harus dijahit, gigi dan rahangnya luka," ujarnya.
Atas hal tersebut, pada hari itu juga, LBH APIK kemudian melaporkannya ke Polda Metro Jaya dan meminta perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
(sip)