Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengumumkan penyerahan berkas laporan penyelidikan Peristiwa Jambo Keupok kepada Kejaksaan Agung, Senin (14/3).
Komnas berkesimpulan, peristiwa yang namanya diambil dari nama desa di Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan dan terjadi 17 Mei 2003 silam itu merupakan kasus pelanggaran HAM berat.
Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat di Aceh, Otto Nur Abdullah, mengatakan penyelidikan kasus tersebut selesai pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kasus ini sudah selesai kami periksa dan diketok palu tujuh hari yang lalu. Oleh karenanya, tindakan kami selanjutnya adalah mengirimkan berkas ke Kejaksaan Agung," ujarnya di Jakarta, pagi tadi.
Otto menuturkan, Peristiwa Jambo Keupok merupakan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Aceh pertama yang lembaganya serahkan kepada kejaksaan.
Empat kasus lain yang masih di tingkat penyelidikan adalah Peristiwa Rumah Gedong di Pidie (tahun 1998), Peristiwa Simpang KKA di Aceh Utara (1999), Peristiwa Bumi Flora di Aceh Timur (2001) dan kasus penghilangan paksa di Bener Meriah (2001).
Komnas mencatat, 16 warga Desa Jambo Keupok meninggal akibat dibakar hidup-hidup maupun ditembak oleh aparatur negara bersenjata. Otto berkata, timnya juga menemukan fakta, 23 warga desa itu disiksa aparatur negara.
Para korban penyiksaan itu, menurut Otto, dipaksa memberi informasi tentang keberadaan tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka. "Karena mereka mengaku tidak tahu, maka disiksa secara berulang-ulang," ujarnya.
Pada berkas penyelidikan, Komnas menyebut sejumlah pejabat militer dan sipil yang saat itu berkuasa. Otto berkata, mereka seharusnya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tragedi Jambo Keupok.
Mereka antara lain mantan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan bekas Bupati Aceh Selatan Teuku Machsalmina Ali.
Selain itu, Komnas juga menyebut petinggi-petinggi lain yang saat itu menjabat, misalnya komandan Satuan Gabungan Intelijen, komandan Kodim 0107, pimpinan Para Komando dan komandan Pemukul Reaksi Cepat pada Batalyon 502 Linud Divisi II Kostrad.
"Pasukan bersenjata bergerak ke Jambo Keupok sekitar subuh, jadi pada saat warga mau salat subuh. Istilahnya, ini serangan fajar," kata Otto.
Kronologi itu berlanjut saat aparatur bersenjata tersebut menggedor rumah-rumah warga desa dan meminta mereka berkumpul di jalan desa. Di sanalah, menurut Komnas, eksekusi mati dilakukan.
"Aparatur memisahkan laki-laki, perempuan, dan anak-anak, tapi masyarakat yang terpisah-pisah itu tetap bisa melihat eksekusi yang terjadi terhadap warga laki-laki. Terjadi kekerasan dan penembakan," ujar Otto.
Dari 16 korban tewas, kata Otto, 12 orang di antaranya dibakar hidup-hidup, sedangkan empat lainnya ditembak mati secara terpisah di beberapa titik.
Setelah eksekusi itu, lanjut Otto, para korban, baik yang sudah meninggal maupun sekarat dibuang oleh apartur ke sebuah rumah penduduk. Rumah itu lantas dibakar.
Laporan penyelidikan tersebut akan diteruskan ke Jaksa Agung Prasetyo sebagai penyidik. Prasetyo dan lembaganya, harap Otto, dapat menindaklanjuti berkasnya ke tingkat penyidikan dan penuntutan.
Peristiwa Jambo Keupok terjadi sehari sebelum presiden kala itu, Megawati Soekarnoputri, menetapkan Aceh menjadi Daerah Operasi Militer.
(abm)