Jakarta, CNN Indonesia -- Kejaksaan Agung selaku Jaksa Pengacara Negara belum menanggapi surat dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dikirim dua minggu lalu soal rencana eksekusi aset Yayasan Supersemar. Surat tertanggal 15 Maret itu meminta kejaksaan untuk melengkapi data rinci rekening dan giro aset yayasan milik keluarga Soeharto itu.
"Tanggal 15 pengadilan negeri mengirim surat meminta JPN untuk melengkapi rekening dengan giro. Intinya meminta data di mana posisinya. Misalkan bank cabang mana," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Amir Yanto saat ditemui Senin (28/3).
Menurut Amir, saat ini Kejaksaan baru meminta Pusat Pemulihan Aset (PPA) untuk melacak keberadaan aset tersebut.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hendak menyita aset Yayasan Supersemar. Namun, masih banyak tahap yang harus dilalui untuk proses eksekusi tersebut, termasuk data rinci yang belum juga diberikan oleh Kejaksaan Agung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Supersemar telah diputus bersalah oleh pengadilan pasca menyalurkan dana ke satu bank dan tujuh perusahaan pada periode 1990-an. Para penerima dana Supersemar saat itu adalah Bank Duta, PT Sempati Air, PT Kiani Lestari, PT Kiani Sakti, PT Kalhold Utama, Essam Timber, PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri, dan Kelompok Usaha Kosgoro.
Pada Putusan MA Nomor 2896 K/Pdt/2009 disebutkan bahwa Bank Duta sempat menerima uang sejumlah US$420 juta dari Supersemar, sedangkan PT. Sempati Air menerima dana Rp13 miliar.
Uang sebesar Rp150 miliar juga diberikan Supersemar kepada PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti. Sementara PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri menerima uang sebesar Rp12 miliar dari yayasan tersebut. Terakhir, Kosgoro tercatat menerima uang sejumlah Rp10 miliar dari Supersemar pada periode yang sama.
Supersemar diwajibkan membayar denda sebesar Rp4,4 triliun atas perkara penyelewengan dana yang sempat melibatkannya periode awal 1990an lalu. Namun, lembaga tersebut melayangkan gugatan melawan kembali negara karena menganggap nominal denda yang diberikan terlalu besar.
(sur)