Muhammadiyah Beri Bantuan Moral dan Advokasi Keluarga Siyono

Resty Armenia | CNN Indonesia
Jumat, 01 Apr 2016 18:37 WIB
Muhammadiyah mengambil peran advokasi sebagai bagian dari komitmen moral agar nilai-nilai kemanusiaan dapat ditegakkan.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kanan) didampingi Sekretaris Umum Abdul Mukti (tengah) dan Ketua Umum PP Aisyiyah Siti Noordjanah Djohantini (kiri) memberikan keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/9). (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan bahwa pihaknya memberikan bantuan moral dan advokasi hukum kepada keluarga Siyono, terduga teroris asal Klaten yang meninggal beberapa saat setelah ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri.

Haedar menjelaskan, untuk bantuan moral, Muhammadiyah berperan melakukan advokasi bersama elemen bangsa lainnya, termasuk kekuatan masyarakat madani (civil society). Muhammadiyah, tutur Haedar, mengambil peran advokasi sebagai bagian dari komitmen moral agar nilai-nilai kemanusiaan dapat ditegakkan dan warga negara Indonesia, siapapun itu, bisa tetap terlindungi.

"Dimensi hukum itu lembaga-lembaga advokasi manapun berhak melakukan advokasi yang, tentu saja, kalau hal-hal yang menyangkut fungsi kepolisian, Komnas HAM, masing-masing punya perannya sendiri dan itu bukan wilayah kami," ujar Haedar di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (1/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Haedar sadar tindakan-tindakan yang melanggar hukum, misalnya terorisme, sudah menjadi wilayah penegak hukum. Meski demikian, ia berharap seluruh proses harus dilakukan dengan seksama dan dalam akuntabilitas hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

"Bantuan (advokasi hukum) itu tidak dilakukan langsung oleh PP Muhammadiyah, tapi oleh lembaga hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, lembaga hukum Universitas Islam Indonesia, dan menurut kabar juga akan melibatkan lembaga hukum yang lain. Itu hal yang wajar saja," katanya.

Diberitakan sebelumnya, Kepolisian Republik Indonesia masih mengusut kasus kematian terduga teroris Siyono. Pria yang disebut Polri ‘Panglima Perang’ Neo Jamaah Islamiyah itu terlibat perkelahian dengan perwira polisi yang menangkapnya saat sudah hampir tiba di kantor polisi. Menurut Polri, Siyono memukul polisi ketika borgolnya dibuka. Mereka adu jotos dan kepala Siyono, kata polisi, terbentur hingga ia pingsan dan akhirnya tewas.

"Pada prinsipnya, kalau ada hal yang diduga menyimpang, kami dari Divisi Inspektorat Pengawasan Umum dan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri akan turun untuk melaksanakan pemeriksaan khusus," ujar Inspektur Pengawasan Umum Polri Dwi Priyatno di Markas Besar Polri.

Jika hasil pemeriksaan menunjukkan ada pelanggaran oleh anggotanya, Kepolisian menurut Dwi akan turun tangan. Sampai sekarang Polri masih terus menerima laporan-laporan seputar kronologi penangkapan Siyono oleh Densus 88

"Hingga saat ini pemeriksaan masih berlangsung, namun laporan awal sudah kami terima. Sebetulnya standar operasi prosedur sudah diterapkan karena yang kami hadapi teroris. Jika ada perlawanan dari teroris kepada polisi di lapangan, polisi dapat melakukan tindakan karena bisa dikatakan overmacht (keadaan terdesak atau memaksa), dalam KUHP Pasal 49 dilindungi," kata Dwi.

Pasal 49 ayat 2 KUHP berbunyi, "Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana."

Sementara Pasal 48 KUHP berbunyi, "Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa (overmacht), tidak dipidana."

Siyono, warga Klaten yang ditangkap Densus, meninggal dunia saat dibawa polisi. Menurut keterangan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Agus Rianto beberapa waktu lalu, Siyono meninggal setelah sempat berkelahi dengan polisi.

Dwi berpendapat masalah ini sepatutnya tak perlu dibesar-besarkan karena polisi hanya berusaha mengemban tugas dalam menangani perkara terorisme. Pun, ujarnya, polisi tak luput dari kesalahan.

"Kami melihat penanganan teroris secara garis besar. Negara bisa aman tentunya dari berbagai upaya pemerintah dan badan hukum terkait. Kami rasa itu yang terpenting. Kalau toh ada dugaan penyimpangan, mari kita sama-sama betulkan, tak perlu dibesar-besarkan," kata Dwi.

Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)  menemukan indikasi pelanggaran prosedur berupa intimidasi dan pelanggaran hak asasi manusia oleh polisi dalam menangkap Siyono.

KontraS curiga ada tindakan penyiksaan selama proses penangkapan, sebab ditemukan luka di sekujur tubuh Siyono yang, menurut mereka, sulit dipercaya sebagai aksi pembelaan diri semata. Tudingan KontraS itu dibantah oleh Polri.

(obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER